Senin, 31 Oktober 2016

Epistemologi Tasawuf : Peran Hati Dalam Tasawuf



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Epistemologi Tasawuf.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 : Peran Hati Dalam Tasawuf.
Istilah hati (qalb) disebut dengan kata al-fuad, dan af’idah. Hati merupakan bagian dari tubuh manusia yang sifatnya terkadang kuat dan rapuh.
Disebutkan bahwa dari segi fungsi, menurut Ahmad Mubarok, qalb berfungsi sebagai “alat untuk memahami realitas dan nilai – nilai serta memutuskan suatu tindakan (QS. Al-A’raf 7:179), sehingga qalb menjadi identik dengan akal. Adapun kandungan inti manusia adalah penyakit (QS. Al-Baqarah 2:10); perasaan takut (QS. Ali Imran 3:151); getaran (QS. An-Anfal 8:2); kedamaian (QS. Al-Fath 48:4); keberanian (QS.Ali Imran 3:126); cinta dan kasih sayang (QS. Al-Hadit 57:27); iman (QS. Al-Hujurat 49:7); kedengkian (QS.al-Hasyr 59:40); kufur (QS.al-Baqarah 2:93); kesesatan (QS.Ali-Imran 3:7); penyelsalan (QS. Ali Imran 3:156); panas hati (QS. At-Taubah 9:45); keraguan (QS. At-Taubah 9:45) ; kemunafikan (QS. At-Taubah 9:77); dan kesombongan (QS. Al-Fath 48:26). Sedangkan posisi hati manusia bermacam – macam, sebagian bersifat positif seperti hati yang bersih (qalb salim), hati yang bertaubat (qalb munib), hati yang tenang (qalb muthma’in), hati yang menerima petunjuk (yahdi qalbih), dan hati yang takwa (taqwa al-qulub). Sebagian kondisi hati bersifat negatif seperti keras hati (ghaliz), hati yang berdosa (itsm al-qalbih), hati yang tersumbat (qulubuna ghalf), hati yang ingkar (qulubihim munkarah), dan hati yang kosong (af’idatihim hawa). Islam menghendaki manusia mampu mencapai kualitas hati yang positif, dan menjauhi kualitas hati yang negatif. (Ja’far, 2016:34-35).
Menurut al-Ghazali, Qalb terdiri atas dua bentuk yaitu bersifat jasmani dan ruhani. Qalb yang bersifat jasmani diartikan sebagai bagian dari tubuh yang berwujud dan yang menjadi sumber ruh. Sementara qalb bersifat ruhani yaitu hati yang halus tak berwujud, diartikan sebagai aql manusia dalam memutuskan sesuatu. Akal ialah sifat ilmu yang terletak dalam hati. Hati senantiasa berubah tergantung dengan kondisinya, manakala hati kotor maka akan menampakan perilaku setan. Sebaliknya, manakala hati bersih maka perilaku tampak seperti malaikat.
Seorang sufi dapat meraih ilmu tanpa melalui proses (usaha) sebagaimana mestinya seorang pelajar. Ilmu yang didapatkan berasal dari ilham yaitu bisikan hati yang datangnya dari Allah Swt. Berbeda dengan wahyu yang menjadi perantara bagi Nabi dan Rasul. Sebab itulah para sufi cenderung kepada ilmu ilhamiyyah (tanpa belajar), bukan ilmu ta’limiyah (lewat belajar). Meskipun begitu, proses ilhamiyah tersebut dilakukan seorang sufi dengan cara mujahadah serta membersihkan kotoran – kotoran hati. Sehingga para sufi disinari oleh cahaya – cahaya ilmuNya.

Kesimpulan :
Peran hati dalam tasawuf ialah sangat penting dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt karena hati merupakan subsistem dari jiwa manusia sebagai sarana untuk melihat Allah Swt. Hati (qalb) yang bersih akan menghasilkan perilaku akhlak yang baik, sebaliknya hati yang kotor senantiasa melakukan perbuatan maksiat. 

BUKU II
Identitas Buku            :  Amril. 2015. Akhlak Tasawuf (Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia). Bandung : PT. Refika Aditama.

Sub 1 : Peran Hati Dalam Tasawuf.
            Dari segi bahasa, qalb berarti hati, lubuk hati, jantung, inti, kekuatan dan semangat keberanian. Kecuali itu, qalb (hati) juga dimaknai dengan akal, istilah yang dalam tahapan psikologis dibedakan dengan hati. Makna yang nyaris sama untuk kata qalb (hati) diungkap dalam pengertian mengubah, membalikan, menjadikan yang bathin menjadi zahir, menumbangkan, mempertimbangkan, terbalik dan lain – lain.
Dalam Al Quran, kata lain dari qalb (hati) ialah al-qulub, as-sudhur, serta al-fuad al-af’idah. Menurut Al-Ghazalai, qalb (hati) dalam pengertian latifah rabbaniyah ruhaniyah ialah sesuatu yang memilki sifat keruhanian. Adapun beberapa fungsi hati (qalb) yaitu :
1.      Qalb sebagai alat untuk menemukan penghayatan ma’rifah kepada Allah Swt. Fungsi qalb (hati) seperti ini dikarenakan selain menjadikan manusia bisa menghayati segala rahasia yang ada di dalam ghaib ini, juga ekstensi hati dalam pengertian kepada Allah Swt.
2.      Qalb sebagai salah satu anggota badan yang berfungsi untuk beramal hanya kepada Allah Swt, dan berusaha menuju kepada Allah Swt sedangkan anggota badan lainnya sebagai pelayan atau alat yang dimanfaatkan oleh qalb (hati).
3.      Qalb sebagai alat yang taat kepada Allah Swt, yang mana gerak ibadah semua anggota badan adalah pancaran qalb (hati). Fungsi qalb (hati) seperti ini lebih dikarenakan posisi sentralnya, bahwa manusia akan mengenal qalb-nya, maka sudah pasti ia akan mengenal dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya sendiri, tentu ia akan mengenal Tuhannya. (Amril, 2016).

Kesimpulan :
Qalb (hati ) yang diartikan sebagai pusat keberanian memiliki kesamaan dengan akal manusia. Akal dan hati manusia memiliki sifat ketuhanan Rabbaniyah dan Ruhanniyah agar dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Adapun tiga fungsi qalb (hati) yaitu sebagai alat untuk ma’rifah kepada Allah Swt yang dilakukan dengan penuh penghayatan. Qalb (hati) juga merupakan salah satu bagian organ tubuh yang digunakan untuk beramal dan beribadah hanya kepada Allah Swt, serta sebagai alat untuk ketaatan kepada Allah Swt.

Perbandingan :
Pada Buku I sebagai buku pegangan wajib oleh Bapak Dr. Ja’far M.A memaparkan secara kompleks mengenai peranan akhlak tasawuf dengan adanya pemberian surah Al-Quran disetiap ciri – ciri hati manusia, sehingga memudahkan pembaca untuk melihat dan membuktikan kebenaran ayat Al-Quran. Dapat dilihat dengan seksama bahwa peranan tasawuf pada buku tersebut ada tujuh point dan dijelaskan secara rinci setiap point tersebut.
Pada Buku II sebagai buku pembanding, memaparkan secara ringkas dimulai dari pengertian qalb (hati) dari segi istilah untuk mendasari pemahaman dari pembaca. Pada buku ini menghasilkan tiga buah point peranan hati dalam tasawuf, merupakan angka yang cukup berbeda dari pembahasan buku sebelumnya.
Share:

Minggu, 23 Oktober 2016

Defenisi, Hirearki dan Tujuan Tasawuf


IDENTITAS :
Nama                          : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema                 :  Defenisi, Hirearki dan Tujuan Tasawuf.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 : Defenisi Tasawuf.
Dalam kitab Kasyf al-Mahjub, al Hujwiri telah menjelaskan asal usul kata tasawuf. Pertama, istilah tasawuf berasal dari kata al-shuf yaitu wol. Disebut sufi karena kaum sufi mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba. Kedua, istilah tasawuf berasal dari kata al-shal yaitu barisan pertama di depan Tuhan, karena besarnya keinginan mereka terhadap Tuhan, kecenderungan hati merekan terhadap-Nya dan tinggalnya bagian – bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-Nya. Ketiga, istilah tasawuf berasal dari kata ahl al-shuffah karena para sufi mengaku sebagai golongan ahl al-shuffah yang diridhai Allah. Mereka disebut sufi karena sifat – sifat mereka menyamai sifat orang – orang yang tinggal di serambi mesjid (shuffah) yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw. Keempat, istilah tasawuf berasal dari kata al-shafa yang artinya kesucian, sebagai makna bahwa para sufi telah menyucikan akhlak mereka dari noda – noda bawaan, dank arena kemurnian hati dan kebersihan tindakan mereka. Kaum sufi menjaga moral dan menyucikan diri merekadari kejahatan dan keinginan duniawi, sebab itulah mereka disebut sufi. (Ja’far 2016, 18-19)

Sub 2 : Hirearki Tasawuf dalam ilmu – ilmu Islam.
Dalam muqaddimah, Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi dua jenis. Pertama, ilmu – ilmu hikmah dan filsafat (‘ulum al-hikmiyah al falsafiyyah) yang diperoleh dari akal manusia dan ilmu yang diajarkan dan ditransformasikan (‘ulum al naqliyyah al wadhiyyah) yang bersumber kepada syariat Islam (Al-Quran dan Haidst). (Ja’far, 2016 :22)

Ilmu berasal dari dua sumber yaitu pemberian Allah Swt (ilham) dan melalui jalan penelitian (rasional). Akhlak tasawuf mempelajari ilmu yang menyangkut ilmu – ilmu syariah yang mana di dalamnya mengkaji tentang Al- Quran dan Hadits. Sedangkan akal (rasional) tidak digunkan dalam ilmu syariah. Aspek pembahasan tasawuf meliputi:
Pertama mujahadah (al-mujahadah), zauq ((al-dzawuq), instrospeksi diri (muhasabah al-nafs) dan tingkatan – tingkatan spiritual (al-kasyf). Kedua, penyingkapan spiritual dan hakikat – hakikat alam gaib (alam al-gayb). Ketiga, keramat wali (al-karamat). Keempat, istilah – istilah kaum sufi yang diungkap pasca mabuk spiritual (al-syathadat). Para fukaha dari mahzab Sunni menolak banyak teoritasawuf yang dikembangkan oleh sufi – sufi dari mahzab tasawuf falsafi yang ternyata lebih diterima dan berkembang di dunia Syiah. (Ja’far, 2016:23)

Sub 3 : Tujuan Tasawuf.                                   
Seorang muslim tidak saja dituntut untuk menjalankan al-islam dan al-iman tetapi juga melaksanakan al-ihsan sebagai hirerarki paling tinggi. Al-Quran dan Hadist menghendaki umat Islam dalam memantapkan ketauhidan dan ibadah dalam kerangka al-ihsan, dan mengimplementasikan tugasnya sebagai khalifah-Nya di muka bumi demi kebaikan akhirat kelak. Tujuan akhlak tasawuf sebenarnya ialah bermakrifat kepada Allah SWT. Karena Junnaid al-Baghdadi mengatakan bahwa makrifah merupakan awal dari kebutuhan hamba dair himah. Pendapat kaum sufi tentang makna kebutuhan sebagai tujuan utama dari mahzab tasawuf dapat dilihat dari pendapat mereka tentang tingkatan tertinggi yang mungkin dicapai oleh sufi. Mereka melahirkan sejumlah teori mengenai al-maqam tertinggi tersebut sebagai dampak dari perbedaan mahzab di antara mereka. Sehingga tasawuf dibagi menjadi dua mahzab yaitu tasawuf akhlak/amali yang berkembang di dalam Sunni dan tasawuf falsafi yang berkembang di dunia Syiah. 

Kesimpulan :
Pembahasan tasawuf tidak jauh dari kaum sufisme yang menjadi peran dalam disiplin ilmu tasawuf. Tasawuf memiliki arti sebagai penyucian jiwa manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mengikuti syariah Nabi serta berupaya menghindarkan diri dari nafsu duniawi. Di dalam hati seorang sufi yang ada hanyalah kecenderungan untuk selalu lebih dekat dengan Allah Swt seakan – akan mereka dapat berinteraksi langsung (melihat) Tuhannya. Tasawuf bersumber dari Al-Quran dan Hadist meskipun pada tasawuf terdapat tasawuf falsafi dimana adanya peran menarik kesimpulan dari kaidah – kaidah permasalahannya. Adanya tasawuf falsafi menjadi terbaginya aliran tasawuf, yaitu penolakan yang dilakukan oleh fukaha (Sunni) ditujukan kepada semua jenis tasawuf. Pertama, tasawuf Sunni yaitu aliran yan memagari pengikutnya dengan Al-Quran dan Hadist, serta megaitkan ajaran mereka, terutama keadaan tingkatan rohani mereka, dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut. Kedua, tasawuf falsafi, yaitu aliran yang cenderung kepada ungkapan – ungkapan ganjil (syathadat) memadukan antara visi mistis dan visi rasional dan banyak menggunakan terminologi filosofis, bahkan dipengaruhi banyak ajaran filsafat (Ja’far 2016, 23-24).
Seorang sufi memiliki tujuan dalam bertasawuf, tentunya bukan hanya mendekatkan diri saja kepada Allah Swt akan tetapi lebih dari pada itu, mengingat adanya tingkatan – tingkatan dalam tasawuf mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi yaitu tauhid dan makrifat. Sesungguhnya tujuan bertasawuf ialah bermakrifat kepada Allah. Kaun sufi yang selalu menjaga hati dan jiwanya agar tetap bersama Allah dalam keadaan apapun dan selalu merasa diawasi Allah sehingga tidak berani melakukan perbuatan maksiat. Meskipun terdapat dua mahzab yang membedakan aliran tasawuf diantaranya tasawuf akhlaki/amali (mahzab Sunni) dan tasawuf falsafi (berkembang di dunia Syiah), seorang sufi bertujuan hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.

BUKU II
Identitas buku : Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Sub 1 : Defenisi Tasawuf.
Tasawuf adalah aspek ruhani (esoteris) dalam Islam. Cara mendekatinya pun harus dengan pendekatan ruhaniah. Di antara unsur ruhani yang terdapat pada diri manusia adalah ruh. Ruh Illahi yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan ruhani, di mana kecenderungan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama. Oleh karena itu, objek kajian tasawuf ialah membahas tentang jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah Swt serta sikapnya dengan sesama makhluk. Tasawuf bertugas membersihkan hati dari sifat – sifat buruk dan tercela (al-madzmumah) dalam kaitan hubungan tersebut. Bila hati sudah bersih dari kotoran – kotoran duniawi maka akan menjadi baik dan harmoni kehidupan menjadi stabil.

Sub 2 : Hirearki Tasawuf.
Al-Ghazali menjelaskan hati immateri dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din adalah karunia Allah Swt, yang halus dan indah, bersifat immateri, yang ada hubungannya dengan hati materi. Yang halus dan indah inilah yang menjadi hakikat kemanusiaan dan yang mengenal dan mengetahui segala sesuatu. Hati ini juga yang menjadi sasaran perintah, sasaran cela, sasaran hukuman dan tuntutan (taklif) Tuhan. Ia mempunyai hubungan dengan hati materi. Hubunan ini sangat menakjubkan akal tentang caranya. Hubungan ini bagaikan gaya dengan jisim, dan hubungan sifat dengan tempat lekatnya, atau seperti hubungan pemakai alat dengan alatnya, atau bagaikan hubungan benda dengan ruang. Al- Qusyairi secara khusus memberikan penjelasan, khususnya terkait dengan alat yang bisa dipakai untuk ma’rifat (melihat dengan mata hati) kepada Allah Swt. Secara jasmaniah, proses kejadian manusia dengan binatang sama. Namun, secara ruhaniah berbeda, sebab ruh yang ditiupkan kepada manusia merupakan ruh yang langsung terpancar dari Tuhan yang dalam bahasa Al-Ghazali disebut dengan sesuatu yang halus dan indah .
Agak berbeda dengan objek kajian tasawuf prespektif Al-Ghazali dan Al-Qusyairi, Al Hakim at-Tirmidzi (255-320H), seorang tokoh sufi Khurasan, menjelaskan bahwa objek sasaran kajian tasawuf terdiri dari empat tingkatan yaitu :
1.      Ash-Shadr berfungsi sebagai sumber dari cahaya Islam (nur al-Islam) yaitu sikap ketundukan yang diekspresikan dalam bentuk fisik, seperti sholat, puasa, haji dan sebagainya. Ash-Shadr adalah tempat penyimpanan ilmu yang dapat menjadikan orang mampu dan mau mengerjakan aturan syariat.
2.      Al-qalb yang ada di dalam Ash-Shadr adalah sumber dari cahaya keimanan. Cahaya keimananin sifatnya konstan, tidak pernah semakin terang atau sebaliknya. Cahaya ini berbeda dengan cahaya keislaman yang kadang meningkat dan kadang berkurang disebabkan bertambah atau berkurangnya ketaatan seseorang.
3.      Al-fuad, yang berada dalam al-qalb merupakan sumber dari cahaya ma’rifah (nur al-ma’rifah). Al-fuad ini berfungsi untuk mengetahui realitas. Cahaya yang dimiliki oleh fuad berbeda dengan dimiliki al-qalb. Sebab, cahaya al-qalb hanya mampu menimbulkan ilmu tentang hakikat, sedangkan cahaya fuad mampu melihat realitas atau hakikat.
4.      Al-lubb, aspek tasawuf yang ada di dalam al-fuad. Ini merupakan simbol dari cahaya tauhid (nur at-tauhid). Cahaya tauhid ini merupakan basis dari ketiga cahaya sebelumnya, dan inilah yang menerima rahmat Allah Swt.
Masing – masing dari objek dan sasaran tasawuf diatas, saling mengingat ruh, jiwa dan akal adalah langsung datang dari Tuhan, maka cara penyuciannya harus banyak melakukan amal saleh, beribadah kepada-Nya, berdzikir, bertasbih dan sebagainya, tentunya harus sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw.

Sub 3 : Tujuan Tasawuf.
            Apapun yang diajarkan oleh tasawuf adalah tidak lain bagaimana menyembah Allah dalam suatu kesadaran mental penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita merasa melihat-Nya atau meyakini bahwa ia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri dihadapan-Nya. Dalam hal ini erat kaitannya dengan tujuan dari adanya tasawuf adalah untuk mengenal Allah dengan sebenar – benarnya sehingga dapat tersingkap tabir antara seorang hamba dengan Tuhan, sehingga menjadi jelas rahasia – rahasia ketuhanan baginya. Selain itu, tujuan tasawuf ialah untuk menyucikan jiwa, hati dan menggunakan perasaan, pikiran dan semua fakultas yang dimiliki sang salik (pelaku tasawuf) untuk tetap berada pada jalan Sangg Kekasih, Tuhan Semesta Alam, untuk hidup berlandaskan ruhani.

Kesimpulan :
Defenisi tasawuf tidak jauh berbeda dengan aspek ruhani manusia, dimana Allah Swt memberikan ruh di dalam setiap jiwa manusia untuk mendekatkan diri kepadanya. Sehingga dalam hal ini, objek pembahasan tasawuf lebih kepada jiwa manusia itu sendiri agar dapat menyucikan kotoran – kotoran duniawi yang ada pada diri manusia. Adapun berbagai tingkatan objek tasawuf menurut Al Hakim at-Tirmidzi, seorang tokoh sufi Khurasan ialah Al- shadr ( sikap ketundukan kepada Allah Swt berwujud fisik), Al-qlab (sikap bertambahnya ataupun berkurang ketaatan seorang hamba), Al-fuad (sumber dari cahaya ma’rifat) dan Al-lubb (yang berada di dalam Al-fuad yang menjadi symbol dari cahaya tauhid). Masing – masing dari objek kajian tersebut berupaya untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah Swt dan agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Semesta Alam meliputi hati, jiwa dan seluruh perasaan dalam mencintai Allah Swt yang berlandaskan ruhani sehingga merasa diawasi oleh Allah Swt yang menjadikannya sebagai tujuan tasawuf itu sendiri.

Perbandingan Buku I dan Buku II :
            Kedua buku tersebut memiliki perbandingan secara simplistis tergantung pendapat – pendapat para sufi maupun tokoh yang ada pada kedua buku tersebut. Artinya tidak ada perbedaan yang jauh pada kedua buku tersebut, hanya saja seperti resume pada buku I sebagai buku pegangan wajib menjelaskan terlebih dahulu asal usul kata tasawuf sehingga pembaca mengetahui dasar kata tasawuf, namun perbedaannya pada buku II sebagai buku pembanding ialah tidak seperti pada buku I, akan tetapi pembahasannya berlandaskan ruhani dalam jiwa manusia yang menjadi objek kajian tasawuf. Begitu pula pada pembahasan hirearki tasawuf, pada buku I membahas tingkatan – tingkatan secara teratur menurut para sufi maupun tokoh – tokoh ulama dan adanya perbedaan antara kedua mahzab, namun pada buku II tidak ada membahas mengenai mahzab, akan tetapi langsung kepada tingkatan objek tasawuf. Kemudian pada sub pembahasan tujuan tasawuf tidak ada perbedaan jauh antara kedua buku tersebut.
Share: