Minggu, 13 November 2016

Al-Maqamat dan Al-Ahwal

IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Al-Maqamat dan Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 :.Defenisi al-maqamat.
Karya – karya yang telah dihasilkan kaum sufi dapat menunjukan hakikat al-maqamat yang beriringan dengan al-ahwal yang keduanya tidak dapat terpisah. Dalam kitab al-Luma, al-Thusi menjelaskan bahwa al-maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan Allah Swt yang dibangun atas dasar pelaksanaan ibadah, mujahadah, riyadah dan kebersamaan dengan-Nya. Teori al-maqamat sesuai dengan Q.S. Ibrahim (14):14, dan Q.S. al-Shaffat (37):164. Sedangkan al-ahwal adalah keadaan hati (qalb) seorang sufi sebagai akibat dari kemurnian zikirnya. (Ja’far, 2016 : 48)
Selain itu, al-maqamat juga diartikan sebagai tingkatan spiritual seorang penempuh jalan tasawuf (salik) dengan memerhatikan segala peraturan meliputi adab – adab, perilaku serta riyadah sebelum seorang salik tersebut menaiki satu tingkatan maqam. Sementara menurut kaum sufi al-hal adalah makna yang yang hadir dalam hati tanpa unsure kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan seperti gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut dan gemetar. Al-hal merupakan pemberian, sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha. Sehingga pemilik al-maqam senantiasa tetap pada posisinya dan al-hal mengalami naik turunya keadaan hati (qalb).
Banyak para sufi yang merumuskan tingkatan – tingkatan al-maqamat, salah satunya Al- Qusyairi menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat (al-taubah), warak (wara’), zuhud (al-zuhd), tawakal (al-tawakkul), sabar (al-shabr), dan kerelaan (al-ridha). Sedangkan diantara yang termasuk al-ahwal adalah thurb, huzn, basth, qabdh dan syawq.  (Ja’far, 2016:50-51). Kaum sufi sepakat bahwa tingkatan – tingkatan tersebut harus dilalui secara bertahap sampai tingkatan tertinggi ridha. Akan tetapi para sufi menegaskan bahwa tidak cukup kepada tingkatan ridha semata, karena tujuan dari tasawuf yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sehingga dengan menapaki jalan al-maqam, seorang salik akan diberikan Allah Swt keadaan hati (al-ahwal).
Konsep perjalanan spiritual seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt sama halnya dengan makna pernyataan agama bahwa manusia akan kembali kepada Allah Swt suatu saat nanti (gerak naik hakikat wujud) dan proses kemunculan manusia sama halnya dengan pernyataan agama bahwa manusia berasal dari Allah Swt (gerak turun hakikat wujud).

Sub 2 :.Pondasi al-maqamat.
           Al-maqam tidak hanya menjadi suatu pegangan bagi seorang salik dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, tetapi dalam memperolehnya diperlukan sikap menyepi (khalwah) dan mengasingkan diri (uzlah).
Khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan alam rahasia menuju Allah Swt. Sedangkan hakikat uzlah (mengasingkan diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk  orang lain. (Ja’far, 2016:53). Dengan mengamalkannya, seorang sufi mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan khalwah dan uzlah diantaranya mengosongkan diri dengan menyibukkan diri hanya beribadah kepada-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat serta membebaskan diri dari perbuatan jahat orang lain. Dengan berkhalwah dapat menghasilkan ketaatan kepada Allah Swt dan hati pun akan menjadi tentram. Selama proses berkhalwah, seorang salik harus membebaskan diri dari aspek – aspek hewani, gangguan diri serta nafsu duniawi sehingga diperlukannya dalam hal ini sikap tafakkur yaitu perenungan yang mendalam seorang salik mengenai keberadaan dirinya serta menyaksikan kemuliaan Allah Swt. Para sufi menegaskan dalam proses ini agar salik bebas atau jauh dari gangguan public (keramaian) sehingga kekhusyukan tetap terjaga.
Dalam khalwah dan uzlah, seorang salik harus menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah Swt, termasuk berzikir sepanjang hari. Selain itu, pelaksanaan berkhalwah dan sekaligus uzlah memiliki aturan diantaranya harus dalam keadaan berwuduk, berpuasa (sedikit makan), sedikit tidur, sedikit berbicara, terus menjalankan ibadah wajib dan sunnah. Kebanyakan para salik berkhalwah selama empat puluh hari bahkan bertahun – tahun lamanya.
Kata al-mujahadah itu sendiri tidak disebut dalam Al-Qur’an akan tetapi kata yang seakar dengannya disebutkan sebanyak 44 kali, antara lain jahada, jahadu, tujahiduna, yujahidu, yujahidun, jahidi, jihadin, jihadan, al-mujahidun, dan al-mujahidin. Adapun riyadah dimaknai sebagai pembiasaan jiwa manusia untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang dapat mengarahkan menuju kesempurnaan yang dapat dicapainya. Tujuan riyadah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi jalan menuju Allah terutama kesenangan lahir dan batin; mendudukan jiwa binatang kepada akal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar selalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt sehingga jiwa tersebut mampu memperoleh kesempurnaan yang bisa dicapainya. (Ja’far, 2016:55)
Secara keseluruhan, dalam melaksanakan ibadah, mujahadan, dan riyadah harus mengetahui hukum – hukum syariat, memahami Al-Qur’an dan sunnah, ijmak salaf, akidah dan ilmu makrifat agar proses yang dilalui seorang salik benar – benar meraih nilai kemuliaan.

Sub 3 : Hirearki al-maqamat.
            Abi-Nash Abd Allah ibn Ali al-Sarraj al-Thusi menyusun al-maqamat dari maqam pertama sampai paling puncak, yang dimulai dari tobat (al-taubah), warak (wara’), zuhud (zuhd), kefakiran (al-faqr), sabar (al-shabr), tawakal (al-tawakkul), sampai rida (al-ridha). Susunan al-maqamat menurut al-Ghazali adalah tobat (al-taubah), sabar (al-shabr), kefakiran (al-faqr), zuhud (zuhd), tawakal (al-tawakkul), cinta (al-mahabbah) dan rida (al-ridha). (Ja’far,2016 :56)
            Perbedaan kedua pendapat sufi tersebut karena pada al-Ghazali tidak memasukan wara’ dalam susunan maqamat nya, sedangkan al-Thusi tidak meletakan al-mahabbah pada susunanya. Hal ini dikarenakan perbedaan pengalaman spiritual masing – masing sufi. Meskipun ada perbedaan susunan, kedua sufi ini maupun kebanyakan sufi lainnya sepakat bahwa tingkatan terendah berada pada posisi tobat (al-taubah) dan posisi tertinggi yaitu rida (al-ridha).

Kesimpulan :
Al-maqamat adalah tingkatan – tingkatan spiritual seorang sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt, yang diperoleh salik secara mandiri melalui pelaksanaan ibadah, mujahadah, dan riyadah. Sedangkan al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil usahanya secara mandiri, melainkan pemberian Allah Swt. (Ja’far, 206:50). Jika seorang sufi berasa pada satu maqam maka ia tetap berada pada kedudukannya, namun yang membuat turun naiknya iman ialah keadaan al-ahwal nya yaitu qalb (hati).
Selain memahami al-maqam dan al-ahwal  untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, para salik juga harus mengamalkan meyepi (khalawah) dan mengasingkan diri (uzlah) dengan rasa tafakkur yang bertujuan untuk :
1.      Lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui pelaksanaan ibadah (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt), mujahadah (berusaha menghilangkan kebiasaan – kebiasaan nafsu manusia), dan riyadah ( pembiasaan jiwa untuk melakukan perbuatan menuju kesempurnaan).
2.      Menjauhi sifat – sifat tercela dan perbuatan maksiat.
3.      Membebaskan diri dari perilaku orang jahat.
4.      Memantapkan ketaatan kepada Allah Swt.
Adapun juga hirearki al-maqamat memiliki banyak versi tergantung pengalaman spiritual para sufi, namun kesepakatan sufi menyatakan bahwa tingkatan terendah yaitu tobat (al-taubah) untuk melepaskan diri dari perbuatan maksiat dan berjanji sepenuh hati agar tidak mengulanginya lagi karena Allah Swt. Kemudian tingkatan tertinggi pada posisi rida (al-ridha) yang mendekatkan diri kepada rahasia Tuhan. 

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 1 : Defenisi al-maqamat.
            Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. (Abuddin, 2016 : 167)
            Dalam mencapai tingkatan – tingkatan (maqamat), para sufi perlu memahami ilmu – ilmu agama agar tidak terjadi kesalahan pada setiap tingkatan. Proses yang dilalui para sufi cukup menguras waktu, tenaga dan pikiran. Oleh karena itu seorang sufi juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam menempuh jalan spiritualnya.
Sub 2 : Pondasi maqamat.
            Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Adapun bagian – bagian dari hal  yaitu takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd) dan berterima kasih (al-syukr).
Hal memiliki perbedaan dengan maqam diantaranya bukan diperoleh dari usaha manusia, ia merupakan pemberian dari Allah Swt. Kemudian, hal  bersifat sementara artinya suatu saat dapat berubah bagi seorang sufi. Selain melaksanakan kegiatan maqam dan hal, adapula mental yang harus dilatih seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.  
Diantaranya kegiatan Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan kegiatan zikir dan tafakkur sebanyak - banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Kemudian mujahadah yang berarti berusaha bersungguh – sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat  berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah, dan suluk berarti menjalani hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir. (Abuddin, 2016 : 177-178)
Sub 3 : Hirearki maqamat.
            Kalangan sufi memiliki perbedaan pendapat terkait dengan maqamat. Muhammad Al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf lil Mahzab ahl- al Tasawuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma’rifah. Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat  hanya enam yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal, dan al-ridla. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al Din mengatakan bahwa maqamat itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah,dan al-ridla. (Abuddin, 2016 : 168)
            Hal tersebut memperlihatkan bahwa pendapat para sufi terhadap maqamat bervariasi, namun ada maqamat  yang disepakati bersama yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr,  al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan  al tawadlu, al-mahabbah, al-ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah tersebut, para ahli sufi menyebutnya sebagai maqamat  dan ada yang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Sehingga kecintaanya kepada Tuhan begitu mendalam dan dapat menyingkap rahasia – rahasia Tuhan.

Kesimpulan :
            Secara singkat, pengertian maqamat ialah tingkatan – tingkatan. Maqamat dipergunakan para sufi sebagai jalan spiritualnya menuju pendekatan kepada Allah Swt. Pemahaman hal  ialah lebih kepada perasaan (menggunakan hati) dalam serangkaian kegiatan maqamat seorang sufi. Pondasi seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt tidak hanya dilakukan oleh serangkaian kegiatan maqamat dan hal. Namun memiliki rintangan diantaranya harus memiliki mental yang kuat untuk menjalankannya, yaitu dalam berriyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah dan suluk. Sehingga dapat kita lihat bahwa jalan yang ditempuh seorang sufi ini bukanlah seperti jalanan yang licin tetapi penuh dengan bebatuan di setiap tingkatan yang banyak mengorbankan usaha dan waktu yang tidak singkat.
Perbedaan pendapat bukan hal yang tidak biasa lagi, bahkan pada kalangan sufi yang berbeda pandangan terhadap maqamat (tingkatan) untuk meraih kedekatan dengan Tuhan. Kesepakatan para sufi berpegang kepada tujuh maqam yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr,  al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan yang lain disebutkan ke dalam maqamat dan hal.

Perbandingan :
            Buku I oleh Bapak Ja’far, MA dan Buku II oleh Prof.Dr. Abuddin Nata, MA saling melengkapi satu sama lain. Jika dilihat perbedaanya tidak begitu drastis, akan tetapi sedikit perbedaan tersebut sudah dirangkum dibawah ini, diantaranya :
1.      Pada sub defenisi maqamat buku I, bukan hanya memaparkan berbagai defenisi akan tetapi sudah masuk kepada pembahasan al-ahwal (hal), pelaksanaan ibadah mujahadah dan riyadah sampai wujud penerapannya kepada ilmu agama. Sedangkan pada buku II hanya sebatas pengertian saja meliputi istilah kata nya.
2.      Pada sub pondasi maqamat buku I, pembahasan sebatas pada khalwah, uzlah, ibadah, mujahadah dan riyadah. Buku II, lebih luas cakupannya meliputi kegiatan mental yaitu riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, dan suluk Namun pada buku ini tidak ada membahas mengenai ibadah.
3.      Pada sub hirearki maqamat tidak ada perbedaan yang mendasar, hanya saja pada buku I, kesepakatan para sufi untu menetapkan al-taubah pada posisi terendah dan al-ridla pada posisi tertinggi maqamat, sedangkan buku II, menyebutkan bahwa al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr,  al-tawakkal, dan al-ridla sebagai tujuh kesepakatan kaum sufi pada maqamat.
Share:

Minggu, 06 November 2016

Epistemologi Tasawuf : Metode Tazkiyah al-Nafs


IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Epistemologi Tasawuf.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 2 : Metode Tazkiyah al-Nafs
Pada dasarnya akal manusia sering digunakan dalam rasionalitas sehingga para kaum sufi menganggap bahwa akal tidak dapat menjelajahi realitas spiritual. Akan tetapi teori rasionalitas manusia dapat bermanfaat dalam pembuktian eksistensi Tuhan dan alam semesta. Adapun teori rasionalitas disebut sebagai metode burhani dan musyahadah (realitas spiritual) dengan cara tazkiyah al-nafs sebagai metode irfani.
Term tazkiyah al-nafs disebut Alquran sebanyak 25 kali dalam berbagai bentuk : zakiyyah, azka, yuzakki, yatazakki, atau zaki. Istilah tersebut dapat bermakna tumbuh karena berkah Tuhan, halal, sifat – sifat terpuji, dan menyucikan jiwa. Adapun keutamaan tazkiyah al-nafs  menurut Alquran bahwa pelauknya disebut sebagai orang – orang yang beruntung (QS. Al-Syams (91):9) dan (QS. Al-A’la (87):14) dan orang tersebut diberikan pahala serta keabadian surgawi (QS. Thaha (20):6). (Ja’far, 2016 : 39-40).
Dengan demikian, metode irfani ialah suatu metode (cara) penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) hanya untuk berma’rifat kepada Allah Swt, bukan dilakukan dengan kegiatan yang berkaitan dengan rasionalitas seperti observasi, penelitian dan lainnya. Kutipan tersebut selaras dengan keempat pendapat kaum sufi yaitu al-Ghazali, Ibn Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra meskipun terdapat sedikit perbedaan pendapat.
Seorang sufi al-Ghazali menemukan kebenaran dalam mahzab kaum sufi (al-shuffiyah) dan mahzab tasawuf (thuruqq tasawuf) dan meninggalkan mahzab filsafat. Kemudian dalam pelaksanaan tazkiyah al-nafs ini al-Ghazali berpegang kepada cara khalawah, uzlah, riyadah, dan al-mujahadah, dan disamping itu melakukan tahzib al-akhlak yaitu mendidik akhlak untuk berzikir kepada Allah Swt. Sehingga dalam pelaksanaan tazkiyah al-nafs memerlukan pengorbanan yang berat daripada sufi termasuk harta, keluarga bahkan tahta untuk berma’rifat.
Suhrawardi menilai bahwa ilmu yang dilalui secara realitas spiritual harus dapat juga dikonstruksikan dengan metode burhani. Berbeda dari al-Ghazali dan Suhrawardhi, Mulla Shadra menilai bahwa ilmu dan kebenaran harus diraih secara burhani (rasional), sesuai dengan visi quran (wahyu). Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ilm laduniyun merupakan suatu cara untuk memperoleh kedekatan dengan Allah tanpa sarana (media) melainkan dengan ilham.
Kesimpulan :
            Tazkiyatun al-nafs atau yang sering disebut dengan metode irfani merupakan suatu cara yang dikembangkan dengan isyarat – isyarat Alquran (wahyu) dan yang dapat memberikan keberuntungan dunia dan akhirat sebab para nabi dan rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (QS. Ali Imran 3:164). Kaum sufi yang lebih meyakini bahwa ilmu yang hakiki hanya dapat diraih dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan dengan cara penelitian (observasi) ataupun cara  rasional.
Menurut al-Ghazali pelaksanaan tazkiyah al nafs dilakukan dengan khalawah, uzlah, riyadah, dan al-mujahadah, dan disamping itu melakukan tahzib al-akhlak yaitu mendidik akhlak untuk berzikir kepada Allah Swt. Menurut Suhrawardi bahwa ilmu dan kebenaran selain hanya dapat diraih melalui perjalanan spiritual, akan tetapi ilmu dapat diraih dengan metode burhani. Menurut Mulla Shadra bahwa ilmu hanya dapat diraih melalui metode burhani (rasional). Menurut Ibn al-Qayyim bahwa ilmu dapat diperoleh tanpa menggunakan sarana melainkan ilham dari Allah Swt.

BUKU II
Identitas Buku            :  Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 2 : Alat untuk Ma’rifah.
            Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati) karena selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia – rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia – rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
            Tajalli merupakan jalan untuk mendapatkan ma’rifah dan terjadi setelah terjadinya al-fana yaitu hilangnya sifat – sifat tercela manusia. Hal itu dilakukan dengan bertaubat sehingga akan terhapusnya dosa – dosa. Pada akhirnya orang yang telah berhasil berma’rifat dengan Allah, maka ia senantiasa dilimpahkan cahaya illahi.
Kesimpulan :
            Alat yang digunakan untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun al-nafs) ialah hati (qalb). Sebaliknya akal tidak dapat digunakan untuk ma’rifah karena ilmu dan kebenaran hanya dapat dilakukan dengan serangkai zikir dan wirid yang teratur sehingga mengetahui rahasia – rahasia Tuhan atau tanpa melalui proses yang panjang (rasional).
Perbandingan :
            Pada buku “Gerbang Tasawuf” oleh Dr. Ja’far telah dijelaskan secara lengkap mengenai metode atau cara memperoleh ma’rifah sehingga beriringan dengan cara penyucian jiwa (tazkiyatun al-nafs). Kemudian pada buku tersebut, dijelaskan sekilas mengenai pendapat, cara serta upaya kaum sufi yaitu al-Ghazali, Suhrawardi, Mulla Shadra dan Ibn al-Qayyim.
Pada buku “Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia” oleh Prof. Abbudin Nata M.A, lebih kepada memaparkan tentang alat yang digunakan dalam cara berma’rifat dan penyucian jiwa dilakukan dengan serangkaian zikir dan wirid. Namun sama halnya dengan referensi buku pertama, dijelaskan bahwa ilmu dapat diperoleh melalui pendekatan diri kepada Allah Swt bukan dengan cara rasional sehingga manusia dapat mengetahui ilmu – ilmu yang bersifat rahasia berasal dari Allah (ilham).
Share: