IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Al-Maqamat dan Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub
1 :.Defenisi al-maqamat.
Karya
– karya yang telah dihasilkan kaum sufi dapat menunjukan hakikat al-maqamat yang beriringan dengan al-ahwal yang keduanya tidak dapat
terpisah. Dalam kitab al-Luma, al-Thusi
menjelaskan bahwa al-maqamat adalah
tingkatan antara seorang hamba dengan Allah Swt yang dibangun atas dasar
pelaksanaan ibadah, mujahadah, riyadah
dan kebersamaan dengan-Nya. Teori al-maqamat
sesuai dengan Q.S. Ibrahim (14):14, dan Q.S. al-Shaffat (37):164. Sedangkan al-ahwal adalah keadaan hati (qalb)
seorang sufi sebagai akibat dari kemurnian zikirnya. (Ja’far, 2016 : 48)
Selain
itu, al-maqamat juga diartikan
sebagai tingkatan spiritual seorang penempuh jalan tasawuf (salik) dengan memerhatikan segala
peraturan meliputi adab – adab, perilaku serta riyadah sebelum seorang salik
tersebut menaiki satu tingkatan maqam.
Sementara menurut kaum sufi al-hal adalah
makna yang yang hadir dalam hati tanpa unsure kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan
seperti gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut dan gemetar. Al-hal merupakan pemberian, sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha.
Sehingga pemilik al-maqam senantiasa
tetap pada posisinya dan al-hal
mengalami naik turunya keadaan hati (qalb).
Banyak
para sufi yang merumuskan tingkatan – tingkatan al-maqamat, salah satunya Al- Qusyairi menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat (al-taubah), warak (wara’), zuhud (al-zuhd),
tawakal (al-tawakkul), sabar (al-shabr), dan kerelaan (al-ridha). Sedangkan diantara yang
termasuk al-ahwal adalah thurb, huzn,
basth, qabdh dan syawq. (Ja’far,
2016:50-51). Kaum sufi sepakat bahwa tingkatan – tingkatan tersebut harus
dilalui secara bertahap sampai tingkatan tertinggi ridha. Akan tetapi para sufi
menegaskan bahwa tidak cukup kepada tingkatan ridha semata, karena tujuan dari
tasawuf yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sehingga dengan menapaki jalan
al-maqam, seorang salik akan diberikan
Allah Swt keadaan hati (al-ahwal).
Konsep
perjalanan spiritual seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt sama
halnya dengan makna pernyataan agama bahwa manusia akan kembali kepada Allah
Swt suatu saat nanti (gerak naik hakikat wujud) dan proses kemunculan manusia
sama halnya dengan pernyataan agama bahwa manusia berasal dari Allah Swt (gerak
turun hakikat wujud).
Sub 2 :.Pondasi al-maqamat.
Al-maqam
tidak hanya menjadi suatu pegangan bagi seorang salik dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, tetapi dalam
memperolehnya diperlukan sikap menyepi (khalwah)
dan mengasingkan diri (uzlah).
Khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju
ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan alam rahasia menuju Allah Swt. Sedangkan
hakikat uzlah (mengasingkan diri)
adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk
orang lain. (Ja’far, 2016:53). Dengan mengamalkannya, seorang sufi
mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan khalwah
dan uzlah diantaranya
mengosongkan diri dengan menyibukkan diri hanya beribadah kepada-Nya,
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat serta membebaskan diri dari perbuatan
jahat orang lain. Dengan berkhalwah
dapat menghasilkan ketaatan kepada Allah Swt dan hati pun akan menjadi tentram.
Selama proses berkhalwah, seorang
salik harus membebaskan diri dari aspek – aspek hewani, gangguan diri serta
nafsu duniawi sehingga diperlukannya dalam hal ini sikap tafakkur yaitu perenungan yang mendalam seorang salik mengenai keberadaan dirinya serta
menyaksikan kemuliaan Allah Swt. Para sufi menegaskan dalam proses ini agar salik bebas atau jauh dari gangguan
public (keramaian) sehingga kekhusyukan tetap terjaga.
Dalam
khalwah dan uzlah, seorang salik
harus menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah
Swt, termasuk berzikir sepanjang hari. Selain itu, pelaksanaan berkhalwah dan sekaligus uzlah memiliki aturan diantaranya harus
dalam keadaan berwuduk, berpuasa (sedikit makan), sedikit tidur, sedikit
berbicara, terus menjalankan ibadah wajib dan sunnah. Kebanyakan para salik berkhalwah selama empat puluh hari bahkan bertahun – tahun lamanya.
Kata
al-mujahadah itu sendiri tidak disebut
dalam Al-Qur’an akan tetapi kata yang seakar dengannya disebutkan sebanyak 44
kali, antara lain jahada, jahadu, tujahiduna,
yujahidu, yujahidun, jahidi, jihadin, jihadan, al-mujahidun, dan al-mujahidin. Adapun riyadah dimaknai sebagai pembiasaan jiwa
manusia untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang dapat mengarahkan menuju
kesempurnaan yang dapat dicapainya. Tujuan riyadah adalah menghilangkan semua
hambatan yang merintangi jalan menuju Allah terutama kesenangan lahir dan
batin; mendudukan jiwa binatang kepada akal praktis yang mendorong jiwa dalam
mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar selalu siap untuk menerima
pancaran Allah Swt sehingga jiwa tersebut mampu memperoleh kesempurnaan yang
bisa dicapainya. (Ja’far, 2016:55)
Secara
keseluruhan, dalam melaksanakan ibadah,
mujahadan, dan riyadah harus
mengetahui hukum – hukum syariat, memahami Al-Qur’an dan sunnah, ijmak salaf,
akidah dan ilmu makrifat agar proses yang dilalui seorang salik benar – benar meraih nilai kemuliaan.
Sub 3 : Hirearki al-maqamat.
Abi-Nash Abd Allah ibn Ali al-Sarraj
al-Thusi menyusun al-maqamat dari maqam pertama sampai paling puncak, yang
dimulai dari tobat (al-taubah), warak
(wara’), zuhud (zuhd), kefakiran (al-faqr),
sabar (al-shabr), tawakal (al-tawakkul), sampai rida (al-ridha). Susunan al-maqamat menurut al-Ghazali adalah tobat (al-taubah), sabar (al-shabr),
kefakiran (al-faqr), zuhud (zuhd), tawakal (al-tawakkul), cinta (al-mahabbah)
dan rida (al-ridha). (Ja’far,2016
:56)
Perbedaan kedua pendapat sufi
tersebut karena pada al-Ghazali tidak memasukan wara’ dalam susunan maqamat
nya, sedangkan al-Thusi tidak meletakan al-mahabbah
pada susunanya. Hal ini dikarenakan perbedaan pengalaman spiritual masing –
masing sufi. Meskipun ada perbedaan susunan, kedua sufi ini maupun kebanyakan
sufi lainnya sepakat bahwa tingkatan terendah berada pada posisi tobat (al-taubah) dan posisi tertinggi yaitu
rida (al-ridha).
Kesimpulan :
Al-maqamat adalah tingkatan – tingkatan spiritual seorang sufi,
dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan tertinggi, yaitu dekat dengan
Allah Swt, yang diperoleh salik secara mandiri melalui pelaksanaan ibadah, mujahadah, dan riyadah. Sedangkan al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil usahanya secara mandiri, melainkan
pemberian Allah Swt. (Ja’far, 206:50). Jika seorang sufi berasa pada satu maqam maka ia tetap berada pada
kedudukannya, namun yang membuat turun naiknya iman ialah keadaan al-ahwal nya yaitu qalb (hati).
Selain
memahami al-maqam dan al-ahwal untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, para salik juga harus mengamalkan meyepi (khalawah) dan mengasingkan diri (uzlah) dengan rasa tafakkur yang bertujuan untuk :
1.
Lebih
mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui pelaksanaan ibadah (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt), mujahadah (berusaha menghilangkan
kebiasaan – kebiasaan nafsu manusia), dan riyadah
( pembiasaan jiwa untuk melakukan perbuatan menuju kesempurnaan).
2.
Menjauhi
sifat – sifat tercela dan perbuatan maksiat.
3.
Membebaskan
diri dari perilaku orang jahat.
4.
Memantapkan
ketaatan kepada Allah Swt.
Adapun
juga hirearki al-maqamat memiliki
banyak versi tergantung pengalaman spiritual para sufi, namun kesepakatan sufi
menyatakan bahwa tingkatan terendah yaitu tobat (al-taubah) untuk melepaskan diri dari perbuatan maksiat dan
berjanji sepenuh hati agar tidak mengulanginya lagi karena Allah Swt. Kemudian
tingkatan tertinggi pada posisi rida (al-ridha)
yang mendekatkan diri kepada rahasia Tuhan.
BUKU II
Identitas Buku :
Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 1 : Defenisi al-maqamat.
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti
tangga. (Abuddin, 2016 : 167)
Dalam mencapai tingkatan – tingkatan
(maqamat), para sufi perlu memahami
ilmu – ilmu agama agar tidak terjadi kesalahan pada setiap tingkatan. Proses
yang dilalui para sufi cukup menguras waktu, tenaga dan pikiran. Oleh karena
itu seorang sufi juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam menempuh jalan
spiritualnya.
Sub 2 : Pondasi maqamat.
Menurut Harun Nasution, hal
merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan
takut, dan sebagainya. Adapun bagian – bagian dari hal yaitu takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas),
rasa berteman (al-uns), gembira hati
(al-wajd) dan berterima kasih (al-syukr).
Hal memiliki
perbedaan dengan maqam diantaranya
bukan diperoleh dari usaha manusia, ia merupakan pemberian dari Allah Swt.
Kemudian, hal bersifat sementara artinya suatu saat dapat
berubah bagi seorang sufi. Selain melaksanakan kegiatan maqam dan hal, adapula
mental yang harus dilatih seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Diantaranya
kegiatan Riyadah berarti latihan
mental dengan melaksanakan kegiatan zikir dan tafakkur sebanyak - banyaknya
serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Kemudian mujahadah yang berarti berusaha bersungguh – sungguh dalam
melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat
berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari
pengaruh keduniaan. Muraqabah berarti
mendekatkan diri kepada Allah, dan suluk
berarti menjalani hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir. (Abuddin, 2016 :
177-178)
Sub 3 : Hirearki maqamat.
Kalangan sufi memiliki perbedaan
pendapat terkait dengan maqamat.
Muhammad Al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf
lil Mahzab ahl- al Tasawuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya
mengatakan bahwa maqamat itu
jumlahnya ada sepuluh yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah. Sementara itu, Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya enam yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal,
dan al-ridla. Dalam pada itu Imam
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al
Din mengatakan bahwa maqamat itu
ada tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr,
al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah,dan al-ridla. (Abuddin, 2016 : 168)
Hal tersebut memperlihatkan bahwa
pendapat para sufi terhadap maqamat
bervariasi, namun ada maqamat yang disepakati bersama yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr,
al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al
tawadlu, al-mahabbah, al-ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah tersebut,
para ahli sufi menyebutnya sebagai maqamat
dan ada yang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Sehingga
kecintaanya kepada Tuhan begitu mendalam dan dapat menyingkap rahasia – rahasia
Tuhan.
Kesimpulan :
Secara singkat, pengertian maqamat ialah tingkatan – tingkatan. Maqamat dipergunakan para sufi sebagai
jalan spiritualnya menuju pendekatan kepada Allah Swt. Pemahaman hal ialah lebih kepada perasaan (menggunakan hati)
dalam serangkaian kegiatan maqamat
seorang sufi. Pondasi seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt
tidak hanya dilakukan oleh serangkaian kegiatan maqamat dan hal. Namun
memiliki rintangan diantaranya harus memiliki mental yang kuat untuk
menjalankannya, yaitu dalam berriyadah,
mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah dan suluk. Sehingga dapat kita lihat bahwa jalan yang ditempuh seorang
sufi ini bukanlah seperti jalanan yang licin tetapi penuh dengan bebatuan di
setiap tingkatan yang banyak mengorbankan usaha dan waktu yang tidak singkat.
Perbedaan
pendapat bukan hal yang tidak biasa lagi, bahkan pada kalangan sufi yang
berbeda pandangan terhadap maqamat
(tingkatan) untuk meraih kedekatan dengan Tuhan. Kesepakatan para sufi
berpegang kepada tujuh maqam yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr,
al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan yang lain disebutkan
ke dalam maqamat dan hal.
Perbandingan :
Buku I oleh Bapak Ja’far, MA dan Buku II oleh Prof.Dr.
Abuddin Nata, MA saling melengkapi satu sama lain. Jika dilihat perbedaanya
tidak begitu drastis, akan tetapi sedikit perbedaan tersebut sudah dirangkum
dibawah ini, diantaranya :
1.
Pada
sub defenisi maqamat buku I, bukan hanya memaparkan berbagai
defenisi akan tetapi sudah masuk kepada pembahasan al-ahwal (hal), pelaksanaan ibadah
mujahadah dan riyadah sampai
wujud penerapannya kepada ilmu agama. Sedangkan pada buku II hanya sebatas
pengertian saja meliputi istilah kata nya.
2.
Pada
sub pondasi maqamat buku I, pembahasan
sebatas pada khalwah, uzlah, ibadah,
mujahadah dan riyadah. Buku II,
lebih luas cakupannya meliputi kegiatan mental yaitu riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, dan suluk Namun pada buku ini tidak ada
membahas mengenai ibadah.
3.
Pada
sub hirearki maqamat tidak ada
perbedaan yang mendasar, hanya saja pada buku I, kesepakatan para sufi untu
menetapkan al-taubah pada posisi
terendah dan al-ridla pada posisi
tertinggi maqamat, sedangkan buku II,
menyebutkan bahwa al-taubah, al-zuhud,
al-wara’, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal, dan al-ridla sebagai
tujuh kesepakatan kaum sufi pada maqamat.