Minggu, 08 Januari 2017
Sabtu, 07 Januari 2017
Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Aksiologi.
IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub : Integrasi dalam Ranah Aksiologi.
Menurut
Ja’far (2016:109-110) istilah aksiologi
dari bahasa Yunani, axios yang
bermakna nilai, dan logos yang
berarti teori Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal,
kriteria dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunin dan Yu,
aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna,
karakteristik dan klasifikasi nilai serta dasar dan karakter pertimbangan
nilai. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Kajian aksiologi lebih
ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik
ilmuwan.
Dari aspek etika akademik, nilai –
nilai luhur tasawuf dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam
pengembangan sains dan teknologi. Konsep al-maqamat
dan al-ahwal dapat menjadi semacam
etika profesi seorang saintis sebagai ilmuwan muslim.
Adapun aksiologi atau manfaat
integrasi tasawuf dan ilmu sains dalam konteks al-maqamat yang harus diperhatikan saintis muslim yaitu :
1.
Seorang
saintis muslim harus zuhud dan fakir, dalam arti bahwa ia menampilkan hidup
sederhana meskipun memiliki banyak harta, dan bersikap dermawan.
2.
Seorang
saintis muslim harus memiliki sikap sabar yaitu sabar dalam beribadah, termasuk
kegiatan riset yang didasari oleh etika religius, sabar dalam menghadapi
musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat.
3.
Seorang
saintis muslim harus tawakkal artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik dan
sosialnya hanya kepada Allah Swt setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat
telah dilakukan secara maksimal.
4.
Seorang
saintis muslim harus memiliki sikap cinta, artinya ia hanya melaksanakan
seluruh aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt,
bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia.
5.
Seorang
saintis muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan tentram,
tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan
sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana
awal, sembari tetap meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan terbaik,
untuk kemudian tetap direncanakan sejak awal.
Dengan
demikian, saintis muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam
ajaran tasawuf, dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan akademik dan
sosialnya. (Ja’far,2016:110-111)
Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
aksiologi adalah hasil dari metode kajian ilmu yang memiliki nilai guna serta
manfaat yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam hal ini, konsep
integrasi antara tasawuf dengan ilmu saintis, lebih kepada etika manusianya.
Setelah mempelajari al maqamat dan al-ahwal diharapkan para ilmuan saintis
nantinya akan menerapkan konsep tersebut, misalnya sikap zuhud, warak, sabar,
tawakkal, cinta, fakir dan rida. Jika ilmuan saintis berhasil menerapkan sikap
– sikap tersebut In Sha Allah, kehidupan di masa yang akan datang akan semakin
sejahtera dan tentram.
BUKU II
Identitas Buku :
Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
Pembelajaran akhlak tasawuf melatih
manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin
dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan
pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Sehingga ia akan
terhindar dari perbuatan – perbuatan yang tercela. Menurut Abuddin (2015:256) demikian
pula tarikat yang terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa
istiqamah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai – nilai ketuhanan. Ia selalu
mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah
dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkannya ke jurang
kehancuran. Dengan demikian, kemungkinan stress, putus asa dan lainnya akan
dapat dihindari.
Selanjutnya ajaran tawakkal pada
Tuhan, menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh karena ia telah mewakilkan
atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Orang yang pada suatu saat
menaiki pesat supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak akan merasa nyaman
dan mengasikan, jika ia selalu takut jatuh dan mati. Orang yang demikian akan
merasa tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu pada Tuhan, karena
urusan mati memang bukan di tangan manusia. Selanjutnya sikap frustasi bahkan
hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridla yang diajarkan dalam
tasawuf, yaitu selalu pasrah menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap
yang demikian itu siperlukan untuk mengatasi masalah frustasi dan sebagainya.
Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini
dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang
tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara
itu. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala
cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf
adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai
Tuhan. Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha
mengasingkan diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula
digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekrup dari mesin
kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. (Abuddin,2015:257)
Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
manfaat dari pembelajaran tasawuf sendiri ialah menjadikan kita pribadi yang
tajam keimanan serta memiliki budi pekerti yang halus. Terlebih lagi dampaknya
yang sangat dahsyat bila kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari – hari
yang mana juga dapat dikaitkan dengan setiap tingkatan – tingkatan al-maqmat seperti tawakkal, zuhd, ridla
dan lain – lain.
Perbandingan :
Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan
terlebih dahulu defenisi dari aksiologi sehingga dapat menjadi suatu pemahaman
kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai integrasi dalam ranah
aksiologi. Pada buku ini dijabarkan secara jelas bagaimana aplikasi
pembelajaran al-maqamat tasawuf dapat
diterapkan dalam kehidpuan saat ini yang berobjek pada ilmuan saintis muslim.
Sedangkan pada buku II oleh Prof.
Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi aksiologi terlebih dahulu,
namun pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini, yaitu
manusia sebagai objek pengaplikasian nilai – nilai al-maqamat tasawuf.
Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Epistemologi.
IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub : Integrasi dalam Ranah Epistemologi.
Menurut
Ja’far (2016:107-108) istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi,
sehingga berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang
filsafat yang membahas pengetahuan dan perkembangan, dan kajian pokok
epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan
dan hal – hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur, metode, dan validitas
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang cara
mendapatkan ilmu.
Kajian – kajian ilmu – ilmu alam
metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai
metode tajribi (eksperimen dan
observasi), sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafsh. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua
metode bisa melengkapi dan mendukung
satu sama lain. Dalam khazanah peradaban Islam, banyak saintis Muslim yang ahli
dalam bidang ilmu – ilmu kealaman juga seorang sufi yang mumpuni dalam bidang
tasawuf. (Ja’far,2016:108)
Ibn Arabi menceritakan bagaimana ia
memperoleh ilmu – ilmu intelektual dan ilmu – ilmu empirik melalui zikirnya.
Pada zikir pertamanya, Ibn Arabi dibawa ke dunia mineral dan ia diperkenalkan
pada berbagai jenis mineral dan manfaat medisnya. Kemudian zikirnya yang kedua,
ia dibawa ke dunia tumbuh – tumbuhan dan ia diperkenalkan kepada jenis tumbuhan
dan manfaatnya. Kemudian pada zikir yang ketiga, ia dibawa menuju dunia hewan
dan dunia manusia, bahkan 23 jenis dunia gaib. Sebaliknya, Ibn Sina akan
melakukan ibadah (sholat) di masjid jika ia menemukan persoalan yang rumit
mengenai filsafat dan sains. Dengan demikian, para sufi memanfaatkan praktik –
praktik ibadah dalam mencari persoalan filsafat dan sains yang rumit.
Dari aspek ini, saintis Muslim
meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi
(observasi dan eksperimen) dalam mengembangkan ilmu – ilmu alam, tetap perlu
mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi
mengutamakn berbagai ritual ibadah (al-ibadah)
termasuk zikir, serta melakukan praktik riyadhah
dan mujahadah. Dari prespektif Islam,
kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara
langsung dari sumber asalnya yaitu, Allah Swt yang diketahui memiliki sifat al-Alim. (Ja’far,2016:109)
Kesimpulan :
Dapat disimpulkan bahwa epistemologi
ialah cara atau bagaimana mendapatkan suatu kajian ilmu tertentu. Dalam bidang
saintis tentunya dilakukan metode observasi atau eksperimen untuk memperoleh
ilmu rasional tersebut atau juga dalam epistemologi Islam disebut dengan metode
tajribi. Sebaliknya dalam tasawuf,
untuk menjadi seorang sufi maka digunakanlah metode irfani yang dilakukan dengan tazkiyah
al-nahfs. Meskipun begitu, keduanya bisa saling mendukung satu sama lain.
Apabila ilmuan saintis muslim mengalami situasi yang rumit dalam memecahkan
ilmu saintis dan mencari kebenarannya, maka ia dapat melakukan metode irfani, seperti halnya Ibn Arabi yang
melakukan ibadah zikir dan Ibn Sina yang melakukan sholat dalam mencari
kebenaran ilmu sains tersebut.
Dari
prespektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh
ilmu secara langsung dari sumber asalnya yaitu, Allah Swt yang diketahui
memiliki sifat al-Alim.
(Ja’far,2016:109)
Sehingga
dengan demikian, sebagai mahasiswa yang bergelut di dunia sains dan teknologi,
kita harus mengedepankan metode tajribi dan
diimbangi dengan metode irfani
sebagai bentuk ketundukan kita kepada Allah Swt Yang Maha Pencipta.
BUKU II
Identitas Buku :
Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
Menurut Abuddin (2015:249)
penggunaan iptek modern masih lebih banyak dikendalikan oleh orang – orang yang
secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang mengutamakan
materi (materialistik), memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat
(hedonistic), ingin menguasai semua aspek kehidupan (totaliteristik), hanya
percaya pada rumus – rumus pengetahuan empiris saja, serta paham hidup positivistis
yang bertumpu pada kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih menguasai
manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tangan mereka yang
berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern
memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di
daratan dan di lautan sebagaimana diisyaratkan Alquran.
Banyak
cara yang diajukan para ahli dalam mengatasi hal tersebut, salah satu cara yang
hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang
berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh – sungguh
memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein
Nashr. Menurutnya paham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan
masyarakat (termasuk masyarakat Barat), karena mereka mulai merasakan
kekeringan batin. (Abuddin, 2015:253)
Oleh
karena itu, situasi kemanusiaan di zaman modern ini menjadi penting
dibicarakan, mengingat dewasa ini manusia menghadapi bermacam – macam persoalan
yang benar – benar membutuhkan pemecahan segera. Kadang – kadang kita merasa,
bahwa situasi yang penuh problematik di dunia modern ini justru disebabkan oleh
perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu dan teknologi,
dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan
martabat manusia. Untuk menyelamatkannya perlu tasawuf yang wujud konkretnya
dalam akhlak yang mulia. (Abuddin, 2015:258)
Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa segala problematika
kehidupan masyarakat modern terhadap masa depan penggunaan iptek akan lebih
baik dan sejahtera bila menerapkan konsep – konsep kehidupan berakhlak dan
bertasawuf.
Perbandingan :
Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA
menjelaskan terlebih dahulu defenisi dari epistemologi sehingga dapat menjadi
suatu pemahaman kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai integrasi
dalam ranah epistemologi. Pada buku ini, dijelaskan metode – metode dalam
mengkaji ilmu pengetahuan yaitu dengan cara metode observasi (tajribi) dan metode irfani dengan cara tazkiyah
al-nafsh.
Sedangkan pada buku II oleh Prof.
Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi epistemologi terlebih dahulu,
namun pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini yaitu
kekhawatiran penggunaan iptek yang melupakan konsep ketuhanan. Maka diperlukannya
cara atau solusinya yaitu dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak
dan bertasawuf.
Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Ontologi.
IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub : Integrasi dalam Ranah Ontologi.
Menurut
Ja’far (2016:105) istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan
dalam bahasa Latin disebut ontologia,
sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut.
Ontologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang esensi segala sesuatu. Ontologi
merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat, dan
membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik
esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai bagian
dari kajian flsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan
hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian,
ontologi adalah ilmu tentang teori kebenaran, dan istilah ontologi ditujukan
kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Para sufi awal memang lebih banyak
memfokuskan kepada masalah kedekatan kepada Allah Swt, tetapi belakangan mereka
meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf
juga mulai bersinggungan dengan filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas
dan menyibak hakikat wujud-Nya, tetapi juga wujud alam dan manusia. Hal ini
dapat dilihat dari karya – karya Ibn Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra.
(Ja’far,2016:105-106)
Berbeda
dari saintis Barat sekuler, para sufi Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada
hubungan erat antara lain dengan Allah Swt. Menurut Ibn Arabi ialah alam
diciptakan Allah Swt melalui proses tajalli
(penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt mengambil dua bentuk yaitu tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan
diri dalam citra alam semesta. Teori Ibn Arabi tentang alam didasari oleh
doktrinya tentang kesatuan wujud (wahdat
al-wujud) dan tajalli. Ibn Sina
dari mahzab Masysya’iyah, Suhrawardi
yang mendirikan mahzab Isyraqi dan
Mulla Shadra dari mahzab Hikmah
al-Muta’aliyah memberikan penjelasan bahwa alam material tidak mandiri,
melainkan disebabkan oleh wujud AllahSwt, dan selalu berada dalam pengawasan
dan pengaturan-Nya. Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra menegaskan bahwa
seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan, hewan dan manusia) adalah
akibat dari dunia spiritual memiliki jiwa (al-nafhs)
masing – masing. (Ja’far,2016:106-107)
Dengan
demikian, saintis muslim sebagai peneliti alam empirik harus menyadari alam
merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt, sehingga penelitian terhadap alam
dapat memperkokoh keimanan seorang muslim saintis bukan menjauhkan manusia
dari-Nya.
Kesimpulan :
Pembahasan mengenai objek kajian
ilmu merupakan defenisi dari ontologi. Ontologi juga membahas hakikat dari ilmu
tersebut. Sehingga dalam mengintegrasikan tasawuf dengan ilmu sains, para
ilmuan saintis muslim meluaskan pembahasan mengenai tasawuf kepada al-wujud Allah Swt, bahkan ada kaitannya
dengan filsafat yang membahas wujud alam
dan manusia.
Hal
ini dikemukakan oleh tokoh sufi Ibn Arabi ialah alam diciptakan Allah Swt
melalui proses tajalli (penampakan
diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk, Ibn Sina dari mahzab Masysya’iyah, Suhrawardi yang mendirikan
mahzab Isyraqi dan Mulla Shadra dari
mahzab Hikmah al-Muta’aliyah
memberikan penjelasan bahwa alam material tidak mandiri, melainkan disebabkan
oleh wujud AllahSwt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Ibn
Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra menegaskan bahwa seluruh elemen dunia
material (mineral, tumbuhan, hewan dan manusia) adalah akibat dari dunia
spiritual memiliki jiwa (al-nafhs) masing
– masing. (Ja’far,2016:106-107)
BUKU II
Identitas Buku :
Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
Pada dasarnya, posisi ilmuan saintis
modern sangat rentan dengan problematika masyarakat, sehingga munculnya suatu
kekhawatiran termasuk pendangkalan iman seorang ilmuan saintis muslim. Hal ini
perlu diperhatikan dengan perlunya akhlak tasawuf yang mengajarkan gaya hidup
sufi. Menurut Abuddin (2015:255) melalui tasawuf, seseorang disadarkan bahwa
sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham wahdatul wujud, alam dan manusia yang
menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang – banyang atau foto
copy Tuhan. Dengan cara demikian, antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan
saling mengarah pada Tuhan. Di sinilah perlunya ilmu dan teknologi yang
berwawasan moral, yaitu ilmu yang diarahkan oleh nilai – nilai dari Tuhan.
Paham wahdatul wujud ini dibawa oleh tokoh sufi Ibn Arabi. Dia telah
sampai kepada puncak wahdatul wujud
dan menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir, filsafat dan zauq
tasawuf. Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujud khaliq.
Dengan
adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan
bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Dan di pihak
lain perasaan beragama yang didukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan
semakin mantap.
Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa,
hakikat pembelajaran tasawuf ini mengajarkan kepada segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini berasal dari Tuhan (wahdatul
wujud), sehingga segala problematika terhadap masyarakat saat ini dapat
diatasi dengan paham yang dibawakan oleh tokoh sufi Ibn Arabi. Baginya wujud
(yang ada) itu hanya satu dan wujudnya makhluk adalah ‘ain wujud khaliq. Sehingga manusia itu sendiri hanyalah bayang –
bayang dari Tuhan yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan.
Perbandingan :
Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA
menjelaskan terlebih dahulu mengenai defenisi dari ontologi, sehingga dapat
menjadi suatu pemahaman kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai
integrasi dalam ranah ontologi. Kemudian dalam buku ini dijelaskan secara rinci
beserta tokoh sufi yang membawa paham wahdatul
wujud serta terdapat kutipan – kutipan para sufi mengenai kajian objek
pengetahuan wahdatul wujud.
Sedangkan pada buku II oleh Prof.
Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi ontologi terlebih dahulu, namun
pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini dengan lahirnya
ilmuan – ilmuan saintis serta solusinya yaitu tasawuf. Pada buku ini dijelaskan
secara singkat mengenai paham wahdatul
wujud yang dibawakan oleh Ibn Arabi.