Minggu, 08 Januari 2017

Sabtu, 07 Januari 2017

Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Aksiologi.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub : Integrasi dalam Ranah Aksiologi.
Menurut Ja’far (2016:109-110) istilah aksiologi dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang berarti teori Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik dan klasifikasi nilai serta dasar dan karakter pertimbangan nilai. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Kajian aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik ilmuwan.
            Dari aspek etika akademik, nilai – nilai luhur tasawuf dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi. Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai ilmuwan muslim.
            Adapun aksiologi atau manfaat integrasi tasawuf dan ilmu sains dalam konteks al-maqamat yang harus diperhatikan saintis muslim yaitu :
1.      Seorang saintis muslim harus zuhud dan fakir, dalam arti bahwa ia menampilkan hidup sederhana meskipun memiliki banyak harta, dan bersikap dermawan.
2.      Seorang saintis muslim harus memiliki sikap sabar yaitu sabar dalam beribadah, termasuk kegiatan riset yang didasari oleh etika religius, sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat.
3.      Seorang saintis muslim harus tawakkal artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik dan sosialnya hanya kepada Allah Swt setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat telah dilakukan secara maksimal.
4.      Seorang saintis muslim harus memiliki sikap cinta, artinya ia hanya melaksanakan seluruh aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt, bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia.
5.      Seorang saintis muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan tentram, tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana awal, sembari tetap meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan terbaik, untuk kemudian tetap direncanakan sejak awal.
Dengan demikian, saintis muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan akademik dan sosialnya. (Ja’far,2016:110-111)

Kesimpulan :
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa aksiologi adalah hasil dari metode kajian ilmu yang memiliki nilai guna serta manfaat yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam hal ini, konsep integrasi antara tasawuf dengan ilmu saintis, lebih kepada etika manusianya. Setelah mempelajari al maqamat dan al-ahwal diharapkan para ilmuan saintis nantinya akan menerapkan konsep tersebut, misalnya sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal, cinta, fakir dan rida. Jika ilmuan saintis berhasil menerapkan sikap – sikap tersebut In Sha Allah, kehidupan di masa yang akan datang akan semakin sejahtera dan tentram.

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
            Pembelajaran akhlak tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Sehingga ia akan terhindar dari perbuatan – perbuatan yang tercela. Menurut Abuddin (2015:256) demikian pula tarikat yang terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai – nilai ketuhanan. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkannya ke jurang kehancuran. Dengan demikian, kemungkinan stress, putus asa dan lainnya akan dapat dihindari.
            Selanjutnya ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Orang yang pada suatu saat menaiki pesat supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak akan merasa nyaman dan mengasikan, jika ia selalu takut jatuh dan mati. Orang yang demikian akan merasa tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu pada Tuhan, karena urusan mati memang bukan di tangan manusia. Selanjutnya sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap yang demikian itu siperlukan untuk mengatasi masalah frustasi dan sebagainya. Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan. Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekrup dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. (Abuddin,2015:257)

Kesimpulan :
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa manfaat dari pembelajaran tasawuf sendiri ialah menjadikan kita pribadi yang tajam keimanan serta memiliki budi pekerti yang halus. Terlebih lagi dampaknya yang sangat dahsyat bila kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari – hari yang mana juga dapat dikaitkan dengan setiap tingkatan – tingkatan al-maqmat seperti tawakkal, zuhd, ridla dan lain – lain.

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan terlebih dahulu defenisi dari aksiologi sehingga dapat menjadi suatu pemahaman kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai integrasi dalam ranah aksiologi. Pada buku ini dijabarkan secara jelas bagaimana aplikasi pembelajaran al-maqamat tasawuf dapat diterapkan dalam kehidpuan saat ini yang berobjek pada ilmuan saintis muslim.
            Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi aksiologi terlebih dahulu, namun pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini, yaitu manusia sebagai objek pengaplikasian nilai – nilai al-maqamat tasawuf.

Share:

Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Epistemologi.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub : Integrasi dalam Ranah Epistemologi.
Menurut Ja’far (2016:107-108) istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan perkembangan, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan dan hal – hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang cara mendapatkan ilmu.
            Kajian – kajian ilmu – ilmu alam metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi (eksperimen dan observasi), sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafsh. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode  bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. Dalam khazanah peradaban Islam, banyak saintis Muslim yang ahli dalam bidang ilmu – ilmu kealaman juga seorang sufi yang mumpuni dalam bidang tasawuf. (Ja’far,2016:108)
            Ibn Arabi menceritakan bagaimana ia memperoleh ilmu – ilmu intelektual dan ilmu – ilmu empirik melalui zikirnya. Pada zikir pertamanya, Ibn Arabi dibawa ke dunia mineral dan ia diperkenalkan pada berbagai jenis mineral dan manfaat medisnya. Kemudian zikirnya yang kedua, ia dibawa ke dunia tumbuh – tumbuhan dan ia diperkenalkan kepada jenis tumbuhan dan manfaatnya. Kemudian pada zikir yang ketiga, ia dibawa menuju dunia hewan dan dunia manusia, bahkan 23 jenis dunia gaib. Sebaliknya, Ibn Sina akan melakukan ibadah (sholat) di masjid jika ia menemukan persoalan yang rumit mengenai filsafat dan sains. Dengan demikian, para sufi memanfaatkan praktik – praktik ibadah dalam mencari persoalan filsafat dan sains yang rumit.
            Dari aspek ini, saintis Muslim meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksperimen) dalam mengembangkan ilmu – ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakn berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk zikir, serta melakukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dari prespektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya yaitu, Allah Swt yang diketahui memiliki sifat al-Alim. (Ja’far,2016:109)

Kesimpulan :
            Dapat disimpulkan bahwa epistemologi ialah cara atau bagaimana mendapatkan suatu kajian ilmu tertentu. Dalam bidang saintis tentunya dilakukan metode observasi atau eksperimen untuk memperoleh ilmu rasional tersebut atau juga dalam epistemologi Islam disebut dengan metode tajribi. Sebaliknya dalam tasawuf, untuk menjadi seorang sufi maka digunakanlah metode irfani yang dilakukan dengan tazkiyah al-nahfs. Meskipun begitu, keduanya bisa saling mendukung satu sama lain. Apabila ilmuan saintis muslim mengalami situasi yang rumit dalam memecahkan ilmu saintis dan mencari kebenarannya, maka ia dapat melakukan metode irfani, seperti halnya Ibn Arabi yang melakukan ibadah zikir dan Ibn Sina yang melakukan sholat dalam mencari kebenaran ilmu sains tersebut.
Dari prespektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya yaitu, Allah Swt yang diketahui memiliki sifat al-Alim. (Ja’far,2016:109)
Sehingga dengan demikian, sebagai mahasiswa yang bergelut di dunia sains dan teknologi, kita harus mengedepankan metode tajribi dan diimbangi dengan metode irfani sebagai bentuk ketundukan kita kepada Allah Swt Yang Maha Pencipta. 

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
            Menurut Abuddin (2015:249) penggunaan iptek modern masih lebih banyak dikendalikan oleh orang – orang yang secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang mengutamakan materi (materialistik), memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat (hedonistic), ingin menguasai semua aspek kehidupan (totaliteristik), hanya percaya pada rumus – rumus pengetahuan empiris saja, serta paham hidup positivistis yang bertumpu pada kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tangan mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di daratan dan di lautan sebagaimana diisyaratkan Alquran.
Banyak cara yang diajukan para ahli dalam mengatasi hal tersebut, salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh – sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein Nashr. Menurutnya paham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat (termasuk masyarakat Barat), karena mereka mulai merasakan kekeringan batin. (Abuddin, 2015:253)
Oleh karena itu, situasi kemanusiaan di zaman modern ini menjadi penting dibicarakan, mengingat dewasa ini manusia menghadapi bermacam – macam persoalan yang benar – benar membutuhkan pemecahan segera. Kadang – kadang kita merasa, bahwa situasi yang penuh problematik di dunia modern ini justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Untuk menyelamatkannya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang mulia. (Abuddin, 2015:258)

Kesimpulan :
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa segala problematika kehidupan masyarakat modern terhadap masa depan penggunaan iptek akan lebih baik dan sejahtera bila menerapkan konsep – konsep kehidupan berakhlak dan bertasawuf. 

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan terlebih dahulu defenisi dari epistemologi sehingga dapat menjadi suatu pemahaman kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai integrasi dalam ranah epistemologi. Pada buku ini, dijelaskan metode – metode dalam mengkaji ilmu pengetahuan yaitu dengan cara metode observasi (tajribi) dan metode irfani dengan cara tazkiyah al-nafsh.
            Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi epistemologi terlebih dahulu, namun pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini yaitu kekhawatiran penggunaan iptek yang melupakan konsep ketuhanan. Maka diperlukannya cara atau solusinya yaitu dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf.
Share:

Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Ontologi.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub : Integrasi dalam Ranah Ontologi.
Menurut Ja’far (2016:105) istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang esensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat, dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai bagian dari kajian flsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori kebenaran, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
            Para sufi awal memang lebih banyak memfokuskan kepada masalah kedekatan kepada Allah Swt, tetapi belakangan mereka meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf juga mulai bersinggungan dengan filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas dan menyibak hakikat wujud-Nya, tetapi juga wujud alam dan manusia. Hal ini dapat dilihat dari karya – karya Ibn Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra. (Ja’far,2016:105-106)
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para sufi Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara lain dengan Allah Swt. Menurut Ibn Arabi ialah alam diciptakan Allah Swt melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt mengambil dua bentuk yaitu tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Teori Ibn Arabi tentang alam didasari oleh doktrinya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli. Ibn Sina dari mahzab Masysya’iyah, Suhrawardi yang mendirikan mahzab Isyraqi dan Mulla Shadra dari mahzab Hikmah al-Muta’aliyah memberikan penjelasan bahwa alam material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud AllahSwt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra menegaskan bahwa seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan, hewan dan manusia) adalah akibat dari dunia spiritual memiliki jiwa (al-nafhs) masing – masing. (Ja’far,2016:106-107)         
Dengan demikian, saintis muslim sebagai peneliti alam empirik harus menyadari alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt, sehingga penelitian terhadap alam dapat memperkokoh keimanan seorang muslim saintis bukan menjauhkan manusia dari-Nya.

Kesimpulan :
            Pembahasan mengenai objek kajian ilmu merupakan defenisi dari ontologi. Ontologi juga membahas hakikat dari ilmu tersebut. Sehingga dalam mengintegrasikan tasawuf dengan ilmu sains, para ilmuan saintis muslim meluaskan pembahasan mengenai tasawuf kepada ­al-wujud Allah Swt, bahkan ada kaitannya dengan filsafat yang membahas wujud alam dan manusia.
Hal ini dikemukakan oleh tokoh sufi Ibn Arabi ialah alam diciptakan Allah Swt melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk, Ibn Sina dari mahzab Masysya’iyah, Suhrawardi yang mendirikan mahzab Isyraqi dan Mulla Shadra dari mahzab Hikmah al-Muta’aliyah memberikan penjelasan bahwa alam material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud AllahSwt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra menegaskan bahwa seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan, hewan dan manusia) adalah akibat dari dunia spiritual memiliki jiwa (al-nafhs) masing – masing. (Ja’far,2016:106-107)

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
            Pada dasarnya, posisi ilmuan saintis modern sangat rentan dengan problematika masyarakat, sehingga munculnya suatu kekhawatiran termasuk pendangkalan iman seorang ilmuan saintis muslim. Hal ini perlu diperhatikan dengan perlunya akhlak tasawuf yang mengajarkan gaya hidup sufi. Menurut Abuddin (2015:255) melalui tasawuf, seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang – banyang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian, antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Di sinilah perlunya ilmu dan teknologi yang berwawasan moral, yaitu ilmu yang diarahkan oleh nilai – nilai dari Tuhan.
            Paham wahdatul wujud ini dibawa oleh tokoh sufi Ibn Arabi. Dia telah sampai kepada puncak wahdatul wujud dan menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir, filsafat dan zauq tasawuf. Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujud khaliq.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Dan di pihak lain perasaan beragama yang didukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan semakin mantap.

Kesimpulan :
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa, hakikat pembelajaran tasawuf ini mengajarkan kepada segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan (wahdatul wujud), sehingga segala problematika terhadap masyarakat saat ini dapat diatasi dengan paham yang dibawakan oleh tokoh sufi Ibn Arabi. Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu dan wujudnya makhluk adalah ‘ain wujud khaliq. Sehingga manusia itu sendiri hanyalah bayang – bayang dari Tuhan yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan.

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan terlebih dahulu mengenai defenisi dari ontologi, sehingga dapat menjadi suatu pemahaman kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai integrasi dalam ranah ontologi. Kemudian dalam buku ini dijelaskan secara rinci beserta tokoh sufi yang membawa paham wahdatul wujud serta terdapat kutipan – kutipan para sufi mengenai kajian objek pengetahuan wahdatul wujud.
            Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi ontologi terlebih dahulu, namun pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini dengan lahirnya ilmuan – ilmuan saintis serta solusinya yaitu tasawuf. Pada buku ini dijelaskan secara singkat mengenai paham wahdatul wujud yang dibawakan oleh Ibn Arabi.
Share: