Minggu, 25 Desember 2016

Mengenal al-Ahwal, muraqabah dan khauf.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 :.Mengenal Al-Ahwal
Sebagian sufi pernah menyebut beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, al-raja’ dan al-syawq. Berbeda dari al-maqamat yang diraih dari hasil usaha salik secara mandiri dengan melakukan ibadah, mujahadarh dan riyadhah, al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt, dan keadaanya tidak kekal dalam diri seorang salik. (Ja’far, 2016:85)

Sub 2 : Al- Muraqabah
            Kata al-muraqabah memang tidak digunakan Alquran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan antara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24 kali. Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab [33]:52, serta hadits Nabi Muhammad Saw mengenai al-iman, al-islam, dan al-ihsan, di mana makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yarka) merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt, dan hati meyakini bahwa Allah Swt Maha Pengawas mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya, dan mendengar ucapannya. Keadaan ini dirasakan ketika salik mengawasi diri sendiri terhdap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah Swt sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan dengan-Nya dan memelihara-Nya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya dan membenci dan tidak akan ingin melakukan pembuatan maksiat dan dosa. (Ja’far,2016:86)

Sub 3 : Takut (al-khauf)                                                                      
            Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat ditemukan dalam hadits dan atsar. Hakikat al-khauf dapat ditemukan dalam Q.S al-Fathir [35]:28, Q.S al-Bayyinah[98]:8, Q.S al-Ali Imran [3]:175, Q.S al-A’la [87]:10, Q.S al-Rahman [55]:46, dan Q.S al-Sajdah [32]:16. Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf maupun dalam bentuk al-khasyiya, meskipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah. Dalam bentuk al-khauf, disebut Alquran sebanyak 124 kali, terutama dalam bentuk khaufun, yukhafina, akhafun sedangkan dalam bentuk yakhsya, khasyiya dengan berbagai bentuknya disebut 48 kali. (Ja’far,2016:88)
            Dalam Q.S Ali Imran [3]:175, Allah Swt berfirman yang artinya ”Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut – nakuti (kamu) dengan kawan – kawannya (orang – orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar – benar orang beriman.”
            Adapun pendapat al-Qusyairi mengenai makna al-khauf yaitu takut kepada Allah Swt (siksaan-Nya) baik di dunia maupun akhirat. Abu al-Qasim al-Hakim mengatakan al-khauf memiliki dua bentuk yaitu rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt dan khasyyah yaitu orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran. Berdasarkan pendapat mereka, al-khauf berarti seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt (siksaan-Nya) dan tidak takut selain-Nya, sehingga hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Sub 4 : Harap (al-raja’)
            Hakikat harap (al-raja’) dapat ditemukan secara mudah dalam Alquran. Di antaranya dalam Q.S al-Baqarah [2]:218 dan Q.S al-Zumar [39]:53. Kata harap (al-raja’) tidak ditemukan dalam Alquran, meskipun bentuk lain dari akar yang sama dapat disebut sebanyak 28 kali, terutama dalam kata tarjuna, yarju dan yarjuna yang maknanya antara lain harap atau berharap. Menurut al-Qusyairi, raja’i adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang. Adb Allah bin Khuliq berkata bahwa raja’ terdiri atas tiga bentuk yaitu orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterim, orang yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertobat dan berharap mendapatkan ampunan, dan terakhir orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharapkan ampunan. Jadi, konsep al-raja’ bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt, berharap semua amal, tobat dan ampunanya diterima Allah Swt. (Ja’far,2016:89)

Sub 5 : Rindu (al-syawq)
            Kaum sufi menilai penting konsep rindu kepada Allah Swt, sebagai kekasih sejati manusia dan menjadi salah satu tanda kecintaan manusia kepada-Nya. Menurut al-Ghazali orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt, maka pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila seorang hamba mencintai Allah Swt maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihat-Nya. Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya – karya mereka. Al- Qusyairi misalnya mengatakan bahwa rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai (Allah Swt). (Ja’far,2016,89-90) Oleh karena itu cinta sangat bergantung kepada rindu. 

Kesimpulan :
            Al-ahwal muncul dalam diri seorang salik melalui pemberian Allah Swt, berbeda dengan al-maqamat yang didapatkan seorang salik melalui jalan usahanya secara mandiri. Hal ini pun akan berubah – ubah seiring dengan keadaan hati seorang salik. Namun bila tingkat keimanan seorang salik dalam posisi yang tinggi, maka ia senantiasa muraqabah yaitu merasa mawas diri terhadap segala perbuatan nya baik yang lalu maupun yang akan datang. Kemudian seorang salik merasa takut (khauf) kepada Allah Swt mengingat siksaan-Nya di dunia maupun akhirat kepada orang yang melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Maka dari itu, seorang salik selalu melakukan segala apa yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Allah Swt. Dengan begitu, ia berharap agar segala amal yang dilakukannya diterima Allah Swt (raja’). Selanjutnya seorang salik merasa rindu kepada Allah Swt (rindu beribadah kepada-Nya) sebagai wujud rasa cinta seorang hamba kepada-Nya.

BUKU II
Identitas Buku : Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Sub 1 : Mengenal Al-Ahwal
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf) dan harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin. (Solihin, 2008:83)

Sub 2 : Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan muraqabah)
            Menurut Solihin (2008:83-84) waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada (muhasabah) dapat diartikan bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang kehendaki-Nya. 

Sub 3 : Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
            Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ atau optimism adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Orang yang harapan dan penantiannya menjadikan berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan – angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan harapannya sia – sia dan percuma.  Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat.
            Ahmad Farid menegaskan bahwa khauf  merupakan cambuk yang digunakan Allah Swt untuk menggiring hamba – hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya itu, mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri ada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba yang berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan. (Solihin, 2008:84-85)

Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa al-ahwal dapat muncul dalam diri seorang sufi atas pemberian Allah Swt. Diantaranya waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin.
Adapun muhasabah dan muraqabah saling berkaitan. Waspada (muhasabah) berarti Allah mengetahui segala sikap, tindakan, fikiran karena Allah Swt Maha Mengetahuai (al-alim), sehingga dengan begitu, manusia juga merasa muraqabah atau memiliki rasa takut dan berhati – hati serta meneliti dengan cermat atas perbuatan yang dilakukannya apakah sudah sesuai atau tidak. Kemudain al-khauf dan raja’ memiliki keselarasan. Apabila orang yang penuh harap terhadap sesuatu, maka ia akan merasa takut apabila melakukan kesalahan. Rasa takut terhadap siksaan Allah Swt dan mendorong seorang hamba senantiasa melakukan ibadah. 

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Dr.Ja’far, MA, dijelaskan secara terpisah makna – makna al-ahwal yang didapati seorang salik diantaranya al-muraqabah (mawas diri), al-khauf (takut), al-raja’ (harap) dan al-syawq (rindu).  Meskipun hanya terdapat empat point mengenai al-ahwal, dalam pembahasannya buku ini tidak lepas dari dalil – dalil yang dapat memperkuat inti pembahasan.
Pada buku II oleh Prof. Dr. Solihin M.Ag, dijelaskan secara bersamaan mengenai al-ahwal diantaranya seperti waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf) dan harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin. (Solihin, 2008:83)

Share:

Sabtu, 24 Desember 2016

Biografi Tokoh Sufi di Nusantara : Syamsuddin Al-Sumatrani


A.    Riwayat Hidup
Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan tokoh yang cukup berpengaruh di kalangan istana Kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 M, dan menjadi qadhi kerajaan. Ia diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1603-1636 M). Sebenarnya informasi tentang Syamsuddin Al-Sumatrani tidak banyak didapati. Informasi lokal tentang Syamsuddin Al-Sumatrani diperoleh dari Hikayat Aceh, Adat Aceh dan Bustan al-Salathin, sementara sumber – sumber Barat adalah catatan perjalanan dari para pengembara Eropa yang datang di Aceh.
Dalam Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan pemimpin spiritual masyarakat. Dialah yang membaca Al-Fatihah, dan atau menerima laporan dari para penziarah yang kembali dari Makkah. Adat Aceh memberinya kehormatan waktu sembahyang besar dan upacara – upacara keagamaan. Lalu, dengan Syamsuddin Al-Sumatrani lah para pengembara tersebut berurusan antara tahun (1600-1630). Dalam catatan perjalanan orang Eropa ini disebutkan terdapat seorang imam yang disebut dengan nama uskup (bishop dan euque).
Informasi yang paling tua berasal dari Frederich de Houtman, seorang pelaut Belanda yang sampai ke Aceh pada 1599 M, menyebutkan bahwa di Aceh didapatinya seorang yang menjadi Syeikh Penasihat Agung Raja. John Davis, pelaut asal Inggris yang menumpang armada kapal Cornelis de Houtman dan Frederich de Houtman, membuat catatan harian tentang Aceh bahwasanya di Aceh terdapat Imam Besar yang sangat dihormati oleh raja dan rakyat, serta terdapat seorang yang dianggap memiliki ruh kenabian yang juga sangat dihormati oleh rakyat. Dengan mempertimbangkan informasi perjalanan dari Barat ini serta memadukan dengan informasi lokal maka sangat mungkin yang dimaksud oleh Frederich de Houtman dan John Davis ketika berhubungan dengan Aceh adalah Syamsuddin Al-Sumatrani. (Miftah Arifin, 2013:50-52)

B.     Keterkaitan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Al-Sumatrani.
Posisi Syamsuddin menjadi sangat penting sesudah Hamzah Fansuri. Meski tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan Syamsuddin Al-Sumatrani serta tidak didapati keterangan yang memadai tentang hubungan Syamsuddin Al-Sumatrani dengan Hamzah Fansuri, banyak para sarjana yang menyimpulkan bahwa ada kedekatan antara keduanya. A. Hasjmy misalnya, cenderung menyimpulkan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan murid dan khalifah dari Hamzah Fansuri yang paling besar di antara pengikut Hamzah Fansuri di Aceh. Pandangan ini menurut Aziz Dahlan memiliki kemungkinan kebenaran sebab Syamsuddin Al-Sumatrani ternyata memiliki tulisan sebagai syarah atas karya Hamzah Fansuri. Tulisan dari Syamsuddin Al-Sumatrani tersebut adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apabila antara Syamsuddin Al-Sumatrani dengan Hamzah Fansuri memiliki hubungan murid dan guru, di mana dan kapan Syamsuddin Al-Sumatrani berguru kepada Hamzah Fansuri. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab karena tidak ada informasi yang menjelaskan tentang hal itu. Tetapi jika melihat tradisi perjalanan intelektual dari Hamzah Fansuri yang suka mengembara ke berbagai tempat, sangat dimungkinkan keduanya bertemu. A. Winsted menjelaskan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani pernah menjadi murid dari Pangeran Bonang di Jawa dan A. Hasjmy bahkan memandang bahwa keduanya (Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani) pernah berguru ke Sunan Bonang di Jawa. Tentu saja spekulasi para sarjana tersebut terjawab dengan penemuan inkripsi batu nisan dari Hamzah Fansuri yang tertanggal 11 April 1527 M sehingga tidak mungkin Syamsuddin memiliki hubungan guru murid dengan Hamzah Fansuri sebab antara keduanya terpaut jarak yang cukup jauh sekitar 1 abad. (Miftah Arifin, 2013:49-50)

C.    Karya – Karya Syamsuddin Al-Sumatrani
Menurut Miftah Arifin (2013:53) sebagai seorang ulama Islam awal Nusantara, Syamsuddin merupakan sosok penulis yang cukup produktif terkait dengan persoalan keagamaan. Ia menulis berbagai risalah baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu yang keberadaan teks – teks karya tersebut masih dapat diakses sampai saat ini. A.Hasjmy menyebutkan terdapat 16 karangan Syamsuddin Al-Sumatrani, yaitu Mir’at al-Mukminin, Jauhar al-Haqa’iq, Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah, Kitab al-Harakah, Nur al-Daqa’iq, Mir’at al-Imam, Syarh Mir’at al-Haqiqat, Kitab al-Martabat, Risalat al-Wahab, Mir’at al-Muhaqqiqin, Tanbih Allah, Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Karya tulisnya yang dapat dijumpai sampai saat ini antara lain sebagai berikut :
1.      Jauhar al-Haqa’iq
Kitab ini berjumlah 30  halaman dan ditulis dengan bahasa Arab serta telah disunting oleh Van Niewenhujize seorang sarjana berbangsa Belanda. Kitab ini mengajarkan paham Martabat Tujuh dan merupakan kitab pengajaran terbaik dan paling lengkap tentang tasawufnya.
2.      Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah
Kitab ini juga telah disunting oleh Van Nieuwenhujize dan berjumlah 8 halaman berbahasa Arab. Kendati cukup ringkas, kitab ini memiliki arti penting dalam pemahaman keagamaanya, karena risalah ini menjelaskan perbedaan pandangan antara golongan mulhid (ateis) dan golongan muwahid.
3.      Mir’at al-Mukminin
Kitab ini berjumlah 70 halaman dan berbahasa Melayu dan menjelaskan keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab – kitab Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat dan kadar-Nya. Kitab ini membicarakan akidah yang sejalan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
4.      Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
Kitab ini berbahasa Melayu dan sebagai penjelas dari syair Hamzah Fansuri tentang kesatuan wujud Tuhan dan alam.
5.      Syarah Syair Ikan Tongkol
Kitab ini berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang Nur Muhammad dan cara mencapai fana.
6.      Nur al-Daqa’iq
Kitab ini berbahasa Arab dan telah diinkripsi oleh A.H. Johns yang menjelaskan tentang Martabat Tujuh.
7.      Ibariq al-Salikin
Kitab ini berbahasa Melayu dan mengundang penjelasan dari beberapa istilah seperti wujud, adam, haq, wajib, mukmin, dan sebagainya.
8.      Mir’at al-Iman
Kitab ini berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang Martabat Tujuh dan persoalan ruh.
9.      Kitab al-Hamakah
Kitab ini berbahasa Arab dan ada pula dalam versi bahasa Melayu, membicarakan tentang Martabat Tujuh.

D.    Paham Wahdat al-Wujud Syamsuddin Al-Sumatrani
            Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan seorang ulama penulis yang cukup kreatif dan telah menghasilkan beberapa tulisan. Dari beberapa karyanya tersebut dapat diketahui bahwasanya Syamsuddin Al-Sumatrani adalah pengikut dari aliran wujudiyah. Di antara karangan yang menunjukan hal itu adalah Jauhar al-Haqa’iq (permata kebenaran) dan Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah  dan Mir’at al-Mukminin.
            Kitab Jauhar al-Haqa’iq menguraikan masalah wahdat al-wujud yang dianutnya. Kitab ini terdiri dari mukadimah, lima pasal dan kahtimah. Kitab ini dilarang dalam bahasa Arab yang cukup baik dengan gaya bahasa sufi yang cukup menyentuh. Kitab ini diawali dengan peringatan Syamsuddin Al-Sumatrani kepada manusia untuk menauhidkan Allah Swt dengan sebenarnya. Mengenal dengan sempurna dengan jalan memadukan dengan tasbih saja maka ia adalah bodoh dan kafir dan barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan tanzih saja maka ia adalah arif kurang. Dan barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan keduanya maka ia adalah arif sempurna yang disempurnakan. Tuhan dalam pengertian Syamsuddin Al-Sumatrani adalah wujud yang tidak ada satupun yang seperti Dia, dan tidak ada suatu pun yang berdiri menyertai-Nya, namun Dia adalah yang menyebabkan adanya segala sesuatu tanpa menyebabkan perubahan pada zat dan sifat-Nya.
            Semua penganut dari doktrin wujudhiyah ini tampak berangkat dari titik pandangan yang sama, bahwa sesungguhnya wujud hakiki itu hanyalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan alam semesta yang beraneka ini hanyalah bayang – bayang dari wujud Tuhan yang satu. Demikian juga yang disampaikan oleh Syamsuddin Al-Sumatrani tentang ajaran Tuhan dan alam ini. Sementara perbedaan meskipun hanya secara teknis yang sering terlihat adalah terkait dengan urutan – urutan atau peringkat – peringkat terjadinya penampakan bayang – bayang Tuhan dari Yang Maha Gaib sehingga menjadi beraneka seperti yang terlihat.
            Terkait dengan tajalli al-Haqq, Syamsuddin Al-Sumatrani mengikuti konsep Martabat Tujuh yang dirumuskan oleh Fadillah Al-Burhanpuri, yang membagi penampakan wujud Tuhan ke dalam tujuh tingkatan. Diantaranya ialah :
1.      Ahadiyyat. Dalam hal ini, Syamsuddin al-Sumatrani membahas keesaan Allah Swt, tidak ada yang serupa dengan wujud Allah Swt, wujud-Nya menjangkau segala hakikat tanpa terjadi perubahan pada zat dan sifat-Nya. Syamsuddin al-Sumatrani mengatakan : “Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia karena semuanya itu hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah Swt membuat segala sesuatu itu berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada esensinya adalah fana (tidak ada), tapi berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud dengan zat-Nya sendiri. Dialah tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah penegak segala sesuatu.”
2.      Wahdah al-wujud. Syamsuddin al-Sumatrani menulis bahwasanya apabila Allah Swt hendak menjelaskan diri-Nya dengan ilmu mutlak maka lahirlah wujud-Nya Yang Mutlak dengan segala keadaan ketuhanan dan kelamaan tanpa ada perbedaan dan pemisahan antara bagian yang satu dan bagian yang lainnya sehingga dinamakan al-Wahdah al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Kesatuan Hakikat Muhammad).
3.      Wahidiyyah. Dalam pasal ketiga ini Syamsuddin al-Sumatrani membahas al-Wahdaniyyah. Ketika Tuhan hendak menjelaskan dirinya dengan ilmunya, lahirlah wujudnya yang mutlak dengan segala nama dan sifat ketuhanan yang berbeda – beda antara yang satu dengan yang lainnya.
4.      Alam arwah. Ruh dalam martabat ini bersifat sederhana (basith) dan bersifat sunyi dari materi dan bentuk (mujarrad).
5.       Alam mitsal. Alam mitsal dalam pengajaran Syamsuddin al-Sumatrani adalah kelanjutan dari ruh dalam alam arwah, tetapi sudah tersusun – susun dan terbagi – bagi meskipun masih secara halus (lathif) dan bersifat imateriel.
6.       Alam aj’am. Pada martabat ini tajalli Tuhan sudah tercipta dalam bentuk tubuh yang tebal, bisa dibagi dan dipecah, tersusun, sudah terkumpul di dalamnya segala nama dan sifat dari yang Mutlak.
7.      Alam insane. Martabat ketujuh adalah martabat insane yang merupakan titik sentral pembahasan Syamsuddin Al-Sumatrani mengenai alam. Pada martabat ini terhimpun segala martabat tajalli sebelumnya, yaitu wahdah, wahdaniyah, ruh nurani, dan tubuh yang gelap semua terhimpun menjadi satu menjadi manusia. (Miftah Arifin, 2013:54-60)

E.     Pengaruh Syamsuddin Al-Sumatrani di Nusantara
            Syamsuddin Al-Sumatrani sudah dianggap oleh para ahli sebgai seorang pengikut Hamzah Fansuri. Pada masanya paham wahdat al-wujud mendapat tempat yang layak dalam kerajaan Aceh sehingga banyak rakyat dan pembesar kerajaan yang menganut paham ini. Dalam tulisannya Syamsuddin terlihat jelas pengaruh mahzab Ibn Arabi serta diperkirakan masuk di Aceh sebelum tahun 1030/1619 M, sebab kitab Tuhfah al-Mursalah yang menjadi rujukan utama ajran ini selesai ditulis pada 1000/1590 M oleh Al-Burhanpuri. Dengan uraiannya tentang tajalli al-haqq secara singkat dan jelas, ia dengan segera menggantikan konsep tajalli dari ulama sebelumnya seperti Ibn Arabi atau Al-Jilli dan kemudian diadopsi oleh Syamsuddin Al-Sumatrani dalam menjelaskan Martabat Wujud.
Sebagai pengikut terbesar dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani menulis sebuah syarh atas kitab Ru’ai yang diidentifikasi milik Hamzah Fansuri. Namun dalam konsep martabat penampakan Tuhan Syamsudin mengikuti doktrin Martabat Tujuh yang disampaikan oleh Al-Burhanpuri. Ia tidak mengikuti konsep yang disajikan oleh Hamzah Fansuri. Ini dapat dikatakan sebgai salah satu kontinuitas sekaligus perubahan dari doktrin wujudiyah yang berkembang di Indonesia.
Melalui merekalah, doktrin ini menyebar di berbagai Nusantara. Paham wujudiyah menyebar ke belahan Nusantara. Johns menemukan kumpulan naskah tanpa pengarang di perkirakan ditulis pada abad ke-17 M di wilayah Sumatera Utara. Naskah ini menjelaskan antara lain tentang ajaran wahdat al-wujud, manusia sempurna dan keutamaan dzikir. Johns menduga bahwa kitab tersebut adalah murid dari Syamsuddin Al-Sumatrani, mengingat banyak hal serupa yang disebutkan dalam naskah tersebut dalam karya – karya Syamsuddin Al-Sumatrani.
Di Palembang misalnya Syihabudin bin Abdullah, ulama sebelum Abdus Samad pada abad ke 18 M, menceritakan bahwa di Palembang telah ramai dengan paham Martabat Tujuh dan menyebabkan masyarakat menjadi zindik dan sesat. Oleh karena itu, buku – buku yang membahas masalah paham wahdat al-wujud ini dilarang dipelajari, sebab di Palembang masih belum banyak guru – guru agama yang mumpuni. Pengaruh Syamsuddin juga di dapati di Buton dengan adanya undang – undang kerajaan Buton yang mengadopsi Martabat Tujuh dan adanya sifat Tuhan yang dua puluh, pada masa Sultan Dayan Ihsanudin (1597-1631). Hal ini terlihat adanya perjanjian yang dibuat antara pihak kerajaan dengan Belanda yang diwakili oleh Pieter Both pada 1613 M yang isinya antara lain bahwa Kerajaan Buton bebas intuk melaksanakan sistem pemerintahanya menurut adat setempat.
Sementara itu di pulau Jawa, ajaran Martabat Tujuh baru berkembang pada akhir abad ke-17 M, dan dalam hal ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor Abdurrauf Al-Sinkili yang banyak memiliki pengikut terutama dalam Tarekat Syattariyah yang berkembang di Jawa. Dengan demikian, ini membuktikan pengaruh Syamsuddin Al-Sumatrani bukan hanya di Aceh melainkan tersebar di belahan Nusantara mengingat saat itu lalu lintas perdagangan dan transportasi yang cukup. (Miftah Arifin,2013:61-64)

Referensi Buku : Arifin, Miftah. 2013. Sufi Nusantara. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Share: