Sabtu, 07 Januari 2017

Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Ranah Aksiologi.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub : Integrasi dalam Ranah Aksiologi.
Menurut Ja’far (2016:109-110) istilah aksiologi dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang berarti teori Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik dan klasifikasi nilai serta dasar dan karakter pertimbangan nilai. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Kajian aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik ilmuwan.
            Dari aspek etika akademik, nilai – nilai luhur tasawuf dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi. Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai ilmuwan muslim.
            Adapun aksiologi atau manfaat integrasi tasawuf dan ilmu sains dalam konteks al-maqamat yang harus diperhatikan saintis muslim yaitu :
1.      Seorang saintis muslim harus zuhud dan fakir, dalam arti bahwa ia menampilkan hidup sederhana meskipun memiliki banyak harta, dan bersikap dermawan.
2.      Seorang saintis muslim harus memiliki sikap sabar yaitu sabar dalam beribadah, termasuk kegiatan riset yang didasari oleh etika religius, sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat.
3.      Seorang saintis muslim harus tawakkal artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik dan sosialnya hanya kepada Allah Swt setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat telah dilakukan secara maksimal.
4.      Seorang saintis muslim harus memiliki sikap cinta, artinya ia hanya melaksanakan seluruh aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt, bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia.
5.      Seorang saintis muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan tentram, tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana awal, sembari tetap meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan terbaik, untuk kemudian tetap direncanakan sejak awal.
Dengan demikian, saintis muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan akademik dan sosialnya. (Ja’far,2016:110-111)

Kesimpulan :
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa aksiologi adalah hasil dari metode kajian ilmu yang memiliki nilai guna serta manfaat yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam hal ini, konsep integrasi antara tasawuf dengan ilmu saintis, lebih kepada etika manusianya. Setelah mempelajari al maqamat dan al-ahwal diharapkan para ilmuan saintis nantinya akan menerapkan konsep tersebut, misalnya sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal, cinta, fakir dan rida. Jika ilmuan saintis berhasil menerapkan sikap – sikap tersebut In Sha Allah, kehidupan di masa yang akan datang akan semakin sejahtera dan tentram.

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Sub : Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Akhlak Tasawuf.
            Pembelajaran akhlak tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Sehingga ia akan terhindar dari perbuatan – perbuatan yang tercela. Menurut Abuddin (2015:256) demikian pula tarikat yang terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai – nilai ketuhanan. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkannya ke jurang kehancuran. Dengan demikian, kemungkinan stress, putus asa dan lainnya akan dapat dihindari.
            Selanjutnya ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Orang yang pada suatu saat menaiki pesat supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak akan merasa nyaman dan mengasikan, jika ia selalu takut jatuh dan mati. Orang yang demikian akan merasa tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu pada Tuhan, karena urusan mati memang bukan di tangan manusia. Selanjutnya sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap yang demikian itu siperlukan untuk mengatasi masalah frustasi dan sebagainya. Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan. Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekrup dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. (Abuddin,2015:257)

Kesimpulan :
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa manfaat dari pembelajaran tasawuf sendiri ialah menjadikan kita pribadi yang tajam keimanan serta memiliki budi pekerti yang halus. Terlebih lagi dampaknya yang sangat dahsyat bila kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari – hari yang mana juga dapat dikaitkan dengan setiap tingkatan – tingkatan al-maqmat seperti tawakkal, zuhd, ridla dan lain – lain.

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan terlebih dahulu defenisi dari aksiologi sehingga dapat menjadi suatu pemahaman kepada pembaca untuk melanjutkan pembahasan mengenai integrasi dalam ranah aksiologi. Pada buku ini dijabarkan secara jelas bagaimana aplikasi pembelajaran al-maqamat tasawuf dapat diterapkan dalam kehidpuan saat ini yang berobjek pada ilmuan saintis muslim.
            Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA tidak menjelaskan defenisi aksiologi terlebih dahulu, namun pembahasannya mengarah kepada problematika masyarakat saat ini, yaitu manusia sebagai objek pengaplikasian nilai – nilai al-maqamat tasawuf.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar