Sabtu, 07 Januari 2017

Integrasi Tasawuf dan Sains : Integrasi dalam Sejarah Islam.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Integrasi Tasawuf dan Sains.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub : Integrasi dalam Sejarah Islam
            Dalam sejarah intelektual Islam Klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan canggih. Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuwan, teolog dan saintis Muslim yang menguasai banyak bidang, baik ilmu – ilmu kewahyuan maupun  ilmu – ilmu rasional dan empirik. Para filsuf dari mahzab Peripatetik merupakan pemikir Muslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang mengintegrasikan kepada Alquran dan hadits, lantaran tema – tema filsafat Yunani diisalamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Tidak sebatas integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu – ilmu rasional dan ilmu – ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan. (Ja’far,2016:102)
Adapun beberapa ilmuan Muslim yang mana juga ahli dalam bidang saintis yaitu :
1.      Al-Jahiz ialah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoology, sejarah, filsafat, psikologi, teologi dan politik.
2.      Al-Kindi menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika, logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optic, zoology dan meteorology.
3.      Al-Razi adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, music dan politik.
4.      Ibn Bajjah adalah tokoh yang dikenal sebagai seorang astronom, filsuf, musisi, dokter,fisikawan, psikolog dan botanis.
5.      Al Biruni merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, dan dokter.
6.      Al-Farabi menguasai berbagai cabang filsafat, antara lain metafisika, etika, logika, matematika, musik dan politik.
7.      Ibn Sina menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, psikologi, logika, matematika, fisika dan puisi.
Selain dari mahzab Peripatetik, sejarah Islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari mahzab Isyraqiyah dan mahzab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu – ilmu rasional dengan ilmu – ilmu kewahyuan. Di antara mereka adalah Suhrawardi yang dikenal ahli filsafat tasawuf, Zoroastrianisme, Platoisme. Kemudian al-Thusi merupakan pakar dalam bidang astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, fisika, teologi, tasawuf dan hukum islam, serta masih banyak lainnya.
Dengan demikian, diantara prestasi besar mereka sebagai ilmuwan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan menintegrasikan ilmu – ilmu rasional, ilmu – ilmu empirik dan ilmu – ilmu kewahyuan. Secara keilmuan, mereka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara personal mereka berperan sebagai seorang saintis Muslim yang berpola hidup religious dan sufistik.  (Ja’far,2016:103-104)

Kesimpulan :
            Integrasi ilmu – ilmu kewahyuan dengan ilmu – ilmu rasional dan empiris bukanlah hal yang biasa lagi ditemukan. Bahkan sejak dahulu kala, para ilmuan saintis muslim telah berhasil membuat suatu penemuan atas keahlian mereka. Seperti yang telah dikemukakan Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI), ada sekitar 261 ilmuwan, teolog muslim yang menguasai berbagai bidang sains. Hal yang menakjubkan bahwasanya keahlian yang dimiliki ilmuwan saintis muslim ini juga selaras dengan gaya hidup mereka yang tidak lepas dari kecintaannya kepada Allah Swt. Mereka ialah para sufi al-Jahiz, al-Kindi, al-Razi, Ibn Bjjah, al-Biruni dalam mahzab Peripatetik dan sufi Suhrawardi serta al-Thusi dari mahzab Isyraqi dan mahzab Hikmah al-Muta’aliyah, serta masih banyak sufi lainnya.

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Sub : Pendidikan Karakter dalam Wacana Intelektual Muslim.
Menurut Abuddin (2015:283) kata intelektual berasal dari bahasa inggris, intellectual yang diterjemahkan menjadi cendekiawan, dan cerdik pandai. Dalam kamus bahasa Indonesia, cendekiawan diartikan sebagai orang yang cerdik pandai, terpelajar, cendekia. Dalam pengertian istilah, cendekiawan bukanlah hanya sebagai orang yang cerdik pandai dan terpelajar, melainkan juga memiliki rasa tanggung jawab (sense of responsibility) untuk mengamalkan kepandaiannya itu bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya kata muslimin adalah isim maf’ul (kata nama bentukan) dari kata aslama, yuslimu, islaman, muslimin yang artinya orang yang patuh, tunduk, berserah diri, berpegang teguh dan mengikat diri (al-inqiyad) pada aturan Allah Swt, sehingga dirinya mendapatkan keamanan, kedamaian, dan keselamatan.
            Seorang cendekiawan muslim pada dirinya adalah orang yang memiliki perasaan moral (moral consciences) dan tanggung jawab moral (moral obligation) yang tinggi bagi kemajuan umat manusia. Mereka itu antara lain :
1.      Imam Bukhari dam Muslim dalam bidang hadits.
2.      Malik bin Annas, Abu Hanifah, al-Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambal dalam bidang fiqh.
3.      Imam al-Tabari dan Zamakhsyari dalam bidang tafsir.
4.      Washil bin Atha, Ibn Huzail dan Allaf dalam bidang teologi.
5.      Zunnun al-Mishri, abu Yazid al-Bustami, Husain Ibn Mansur al-Hallaj dalam bidang tasawuf.
6.      Al-Farabi dan Ibn Sina dalam bidang kedokteran.
7.      Al-Fazari dalam bidang astronomi.
8.      Ali al-Hasan Ibn Haytham dalam bidang optic.
9.      Jahir Ibn Hayyan dalam bidang kimia.
10.  Al-Baituni dalam bidang fisika.
11.  Abu Hasan al-Mas’udi dalam bidang geografi.
12.  Ibn Sina dan Ibn Ruyd dalam bidang filsafat.
13.  Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak.
Kalangan intelektual muslim pada masa awal disibukan oleh masalah – masalah yang berhubungan dengan penyebaran Islam. Karena itu, para intelektual muslim harus mulai berpikir, pertama tentang bagaimana memelihara dan mencatat ucapan – ucapan nabi dan sahabat – sahabatnya, kedua ada kebutuhan untuk menjelaskan Alquran dan terutama Sunnah beserta hadits – hadits nabi yang secara keseluruhan jumlahnya sangat banyak. Pada tahap selanjutnya para intelektual Islam disibukan dengan gerakan penerjemah yang begitu besar dibawah lindungan khalifah – khalifah Abbasyiah dan dari situ kegiatan intelektual muslim menjangkau kegiatan keilmuan yang lebih luas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. (Abuddin, 2015:286)      
Selain itu, para intelektual muslim dari sejak zaman klasik, seperti al-Farabi (w.339 H), Ibn Sina (370-428 H), Ibn Miskawaih (421 H), al-Ghazali (w.1111 M), hingga zaman modern, seperti Muhammad Abduh, Ahmad Amin, Abbas Mahmud al-Aqqad, hingga Fazlur Rahman, telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan karakter, sebagaimana dapat dijumpai dalam berbagai karya tulis yang mereka lakukan. Perhatian para intelektual muslim yang demikian besar terhadap pendidikan karakter yang demikian itu perlu diapresiasi. (Abuddin, 2015:281-282)
Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan para intelektual muslim dalam pendidikan karakter juga telah berhasil dalam mengintegrasikan kemampuannya dalam bidang saintis dengan sikap dan pandangan sufistik.

Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang cendekiawan muslim adalah orang yang memiliki perasaan moral (moral consciences) dan tanggung jawab moral (moral obligation) yang tinggi bagi kemajuan umat manusia. Diantara cendekiawan muslim itu ialah Imam Bukhari dam Muslim dalam bidang hadits, Al-Fazari dalam bidang astronomi, Al-Baituni dalam bidang fisika, Al-Farabi dan Ibn Sina dalam bidang kedokteran, dan lain sebagainya. Selain ahli pada bidang saintis, cendekiawan muslim tersebut juga meletakan perhatian yang besar terhadap pendidikan karakter baik pada zaman klasik maupun modern.



Perbandingan :
            Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan secara rinci mengenai sejarah intergasi antara filsafat Yunani yang diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Kemudian pada buku tersebut, dijabarkan identitas para ilmuan saintis muslim yang dapat menaungi bidang – bidang dalam dunia sains.
Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA menjelaskan tentang hal yang sama yaitu integrasi saintis dengan ajaran Islam yang mana dibawakan oleh gaya sufisme, yang menghasilkan tokoh – tokoh cendekiawan muslim yang juga berhasil membawa perhatian mengenai pendidikan karakter.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar