A. Riwayat
Hidup
Syamsuddin
Al-Sumatrani merupakan tokoh yang cukup berpengaruh di kalangan istana Kerajaan
Aceh pada akhir abad ke-16 M, dan menjadi qadhi kerajaan. Ia diperkirakan hidup
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1603-1636 M). Sebenarnya informasi
tentang Syamsuddin Al-Sumatrani tidak banyak didapati. Informasi lokal tentang
Syamsuddin Al-Sumatrani diperoleh dari Hikayat
Aceh, Adat Aceh dan Bustan
al-Salathin, sementara sumber – sumber Barat adalah catatan perjalanan dari
para pengembara Eropa yang datang di Aceh.
Dalam
Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan pemimpin
spiritual masyarakat. Dialah yang membaca Al-Fatihah, dan atau menerima laporan
dari para penziarah yang kembali dari Makkah. Adat Aceh memberinya kehormatan
waktu sembahyang besar dan upacara – upacara keagamaan. Lalu, dengan Syamsuddin
Al-Sumatrani lah para pengembara tersebut berurusan antara tahun (1600-1630).
Dalam catatan perjalanan orang Eropa ini disebutkan terdapat seorang imam yang
disebut dengan nama uskup (bishop dan
euque).
Informasi
yang paling tua berasal dari Frederich de Houtman, seorang pelaut Belanda yang
sampai ke Aceh pada 1599 M, menyebutkan bahwa di Aceh didapatinya seorang yang
menjadi Syeikh Penasihat Agung Raja. John Davis, pelaut asal Inggris yang
menumpang armada kapal Cornelis de Houtman dan Frederich de Houtman, membuat
catatan harian tentang Aceh bahwasanya di Aceh terdapat Imam Besar yang sangat
dihormati oleh raja dan rakyat, serta terdapat seorang yang dianggap memiliki
ruh kenabian yang juga sangat dihormati oleh rakyat. Dengan mempertimbangkan
informasi perjalanan dari Barat ini serta memadukan dengan informasi lokal maka
sangat mungkin yang dimaksud oleh Frederich de Houtman dan John Davis ketika
berhubungan dengan Aceh adalah Syamsuddin Al-Sumatrani. (Miftah Arifin,
2013:50-52)
B. Keterkaitan
Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Al-Sumatrani.
Posisi
Syamsuddin menjadi sangat penting sesudah Hamzah Fansuri. Meski tidak banyak
yang diketahui mengenai kehidupan Syamsuddin Al-Sumatrani serta tidak didapati
keterangan yang memadai tentang hubungan Syamsuddin Al-Sumatrani dengan Hamzah
Fansuri, banyak para sarjana yang menyimpulkan bahwa ada kedekatan antara
keduanya. A. Hasjmy misalnya, cenderung menyimpulkan bahwa Syamsuddin
Al-Sumatrani merupakan murid dan khalifah dari Hamzah Fansuri yang paling besar
di antara pengikut Hamzah Fansuri di Aceh. Pandangan ini menurut Aziz Dahlan
memiliki kemungkinan kebenaran sebab Syamsuddin Al-Sumatrani ternyata memiliki
tulisan sebagai syarah atas karya Hamzah Fansuri. Tulisan dari Syamsuddin
Al-Sumatrani tersebut adalah Syarah
Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah
Syair Ikan Tongkol. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apabila
antara Syamsuddin Al-Sumatrani dengan Hamzah Fansuri memiliki hubungan murid
dan guru, di mana dan kapan Syamsuddin Al-Sumatrani berguru kepada Hamzah
Fansuri. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab karena tidak ada informasi yang
menjelaskan tentang hal itu. Tetapi jika melihat tradisi perjalanan intelektual
dari Hamzah Fansuri yang suka mengembara ke berbagai tempat, sangat dimungkinkan
keduanya bertemu. A. Winsted menjelaskan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani pernah
menjadi murid dari Pangeran Bonang di Jawa dan A. Hasjmy bahkan memandang bahwa
keduanya (Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani) pernah berguru ke Sunan
Bonang di Jawa. Tentu saja spekulasi para sarjana tersebut terjawab dengan
penemuan inkripsi batu nisan dari Hamzah Fansuri yang tertanggal 11 April 1527
M sehingga tidak mungkin Syamsuddin memiliki hubungan guru murid dengan Hamzah
Fansuri sebab antara keduanya terpaut jarak yang cukup jauh sekitar 1 abad.
(Miftah Arifin, 2013:49-50)
C. Karya
– Karya Syamsuddin Al-Sumatrani
Menurut
Miftah Arifin (2013:53) sebagai seorang ulama Islam awal Nusantara, Syamsuddin
merupakan sosok penulis yang cukup produktif terkait dengan persoalan
keagamaan. Ia menulis berbagai risalah baik dalam bahasa Arab maupun dalam
bahasa Melayu yang keberadaan teks – teks karya tersebut masih dapat diakses
sampai saat ini. A.Hasjmy menyebutkan terdapat 16 karangan Syamsuddin
Al-Sumatrani, yaitu Mir’at al-Mukminin,
Jauhar al-Haqa’iq, Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi
Dzikrillah, Kitab al-Harakah, Nur al-Daqa’iq, Mir’at al-Imam, Syarh Mir’at
al-Haqiqat, Kitab al-Martabat, Risalat al-Wahab, Mir’at al-Muhaqqiqin, Tanbih
Allah, Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Karya tulisnya yang dapat dijumpai
sampai saat ini antara lain sebagai berikut :
1. Jauhar
al-Haqa’iq
Kitab
ini berjumlah 30 halaman dan ditulis
dengan bahasa Arab serta telah disunting oleh Van Niewenhujize seorang sarjana
berbangsa Belanda. Kitab ini mengajarkan paham Martabat Tujuh dan merupakan
kitab pengajaran terbaik dan paling lengkap tentang tasawufnya.
2. Risalah
Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah
Kitab
ini juga telah disunting oleh Van Nieuwenhujize dan berjumlah 8 halaman
berbahasa Arab. Kendati cukup ringkas, kitab ini memiliki arti penting dalam
pemahaman keagamaanya, karena risalah ini menjelaskan perbedaan pandangan
antara golongan mulhid (ateis) dan
golongan muwahid.
3. Mir’at
al-Mukminin
Kitab
ini berjumlah 70 halaman dan berbahasa Melayu dan menjelaskan keimanan kepada
Allah, para rasul-Nya, kitab – kitab Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat dan
kadar-Nya. Kitab ini membicarakan akidah yang sejalan dengan akidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
4. Syarah
Ruba’i Hamzah Fansuri
Kitab
ini berbahasa Melayu dan sebagai penjelas dari syair Hamzah Fansuri tentang
kesatuan wujud Tuhan dan alam.
5. Syarah
Syair Ikan Tongkol
Kitab
ini berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang Nur Muhammad dan cara mencapai fana.
6. Nur
al-Daqa’iq
Kitab
ini berbahasa Arab dan telah diinkripsi oleh A.H. Johns yang menjelaskan
tentang Martabat Tujuh.
7. Ibariq
al-Salikin
Kitab
ini berbahasa Melayu dan mengundang penjelasan dari beberapa istilah seperti wujud, adam, haq, wajib, mukmin, dan
sebagainya.
8. Mir’at
al-Iman
Kitab
ini berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang Martabat Tujuh dan persoalan ruh.
9. Kitab
al-Hamakah
Kitab
ini berbahasa Arab dan ada pula dalam versi bahasa Melayu, membicarakan tentang
Martabat Tujuh.
D. Paham
Wahdat al-Wujud Syamsuddin Al-Sumatrani
Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan seorang ulama
penulis yang cukup kreatif dan telah menghasilkan beberapa tulisan. Dari
beberapa karyanya tersebut dapat diketahui bahwasanya Syamsuddin Al-Sumatrani
adalah pengikut dari aliran wujudiyah. Di antara karangan yang menunjukan hal
itu adalah Jauhar al-Haqa’iq (permata
kebenaran) dan Risalah Tubayyin
Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah dan Mir’at
al-Mukminin.
Kitab Jauhar al-Haqa’iq menguraikan masalah wahdat al-wujud yang dianutnya. Kitab ini terdiri dari mukadimah,
lima pasal dan kahtimah. Kitab ini dilarang dalam bahasa Arab yang cukup baik
dengan gaya bahasa sufi yang cukup menyentuh. Kitab ini diawali dengan
peringatan Syamsuddin Al-Sumatrani kepada manusia untuk menauhidkan Allah Swt
dengan sebenarnya. Mengenal dengan sempurna dengan jalan memadukan dengan tasbih saja maka ia adalah bodoh dan
kafir dan barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan tanzih saja maka ia adalah arif kurang. Dan barangsiapa yang
mengenal Tuhan dengan keduanya maka ia adalah arif sempurna yang disempurnakan.
Tuhan dalam pengertian Syamsuddin Al-Sumatrani adalah wujud yang tidak ada
satupun yang seperti Dia, dan tidak ada suatu pun yang berdiri menyertai-Nya,
namun Dia adalah yang menyebabkan adanya segala sesuatu tanpa menyebabkan
perubahan pada zat dan sifat-Nya.
Semua penganut dari doktrin
wujudhiyah ini tampak berangkat dari titik pandangan yang sama, bahwa
sesungguhnya wujud hakiki itu hanyalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan alam
semesta yang beraneka ini hanyalah bayang – bayang dari wujud Tuhan yang satu.
Demikian juga yang disampaikan oleh Syamsuddin Al-Sumatrani tentang ajaran
Tuhan dan alam ini. Sementara perbedaan meskipun hanya secara teknis yang
sering terlihat adalah terkait dengan urutan – urutan atau peringkat – peringkat
terjadinya penampakan bayang – bayang Tuhan dari Yang Maha Gaib sehingga
menjadi beraneka seperti yang terlihat.
Terkait dengan tajalli al-Haqq, Syamsuddin Al-Sumatrani mengikuti konsep Martabat
Tujuh yang dirumuskan oleh Fadillah Al-Burhanpuri, yang membagi penampakan
wujud Tuhan ke dalam tujuh tingkatan. Diantaranya ialah :
1.
Ahadiyyat. Dalam hal ini, Syamsuddin al-Sumatrani membahas
keesaan Allah Swt, tidak ada yang serupa dengan wujud Allah Swt, wujud-Nya
menjangkau segala hakikat tanpa terjadi perubahan pada zat dan sifat-Nya. Syamsuddin
al-Sumatrani mengatakan : “Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia
karena semuanya itu hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah Swt membuat segala
sesuatu itu berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada
esensinya adalah fana (tidak ada),
tapi berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud dengan zat-Nya sendiri. Dialah
tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah penegak segala sesuatu.”
2.
Wahdah al-wujud. Syamsuddin al-Sumatrani menulis bahwasanya apabila
Allah Swt hendak menjelaskan diri-Nya dengan ilmu mutlak maka lahirlah
wujud-Nya Yang Mutlak dengan segala keadaan ketuhanan dan kelamaan tanpa ada
perbedaan dan pemisahan antara bagian yang satu dan bagian yang lainnya
sehingga dinamakan al-Wahdah al-Haqiqah
al-Muhammadiyah (Kesatuan Hakikat Muhammad).
3.
Wahidiyyah. Dalam pasal ketiga ini Syamsuddin al-Sumatrani
membahas al-Wahdaniyyah. Ketika Tuhan
hendak menjelaskan dirinya dengan ilmunya, lahirlah wujudnya yang mutlak dengan
segala nama dan sifat ketuhanan yang berbeda – beda antara yang satu dengan
yang lainnya.
4.
Alam arwah. Ruh dalam martabat ini bersifat sederhana (basith) dan bersifat sunyi dari materi
dan bentuk (mujarrad).
5.
Alam mitsal. Alam mitsal dalam pengajaran Syamsuddin al-Sumatrani
adalah kelanjutan dari ruh dalam alam arwah, tetapi sudah tersusun – susun dan
terbagi – bagi meskipun masih secara halus (lathif)
dan bersifat imateriel.
6.
Alam aj’am. Pada martabat ini tajalli Tuhan sudah tercipta dalam
bentuk tubuh yang tebal, bisa dibagi dan dipecah, tersusun, sudah terkumpul di
dalamnya segala nama dan sifat dari yang Mutlak.
7.
Alam insane. Martabat ketujuh adalah
martabat insane yang merupakan titik
sentral pembahasan Syamsuddin Al-Sumatrani mengenai alam. Pada martabat ini
terhimpun segala martabat tajalli sebelumnya, yaitu wahdah, wahdaniyah, ruh nurani, dan tubuh yang gelap semua
terhimpun menjadi satu menjadi manusia. (Miftah Arifin, 2013:54-60)
E. Pengaruh
Syamsuddin Al-Sumatrani di Nusantara
Syamsuddin Al-Sumatrani sudah
dianggap oleh para ahli sebgai seorang pengikut Hamzah Fansuri. Pada masanya
paham wahdat al-wujud mendapat tempat
yang layak dalam kerajaan Aceh sehingga banyak rakyat dan pembesar kerajaan
yang menganut paham ini. Dalam tulisannya Syamsuddin terlihat jelas pengaruh
mahzab Ibn Arabi serta diperkirakan masuk di Aceh sebelum tahun 1030/1619 M,
sebab kitab Tuhfah al-Mursalah yang
menjadi rujukan utama ajran ini selesai ditulis pada 1000/1590 M oleh
Al-Burhanpuri. Dengan uraiannya tentang tajalli
al-haqq secara singkat dan jelas, ia dengan segera menggantikan konsep
tajalli dari ulama sebelumnya seperti Ibn Arabi atau Al-Jilli dan kemudian diadopsi
oleh Syamsuddin Al-Sumatrani dalam menjelaskan Martabat Wujud.
Sebagai
pengikut terbesar dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani menulis sebuah
syarh atas kitab Ru’ai yang diidentifikasi milik Hamzah Fansuri. Namun dalam
konsep martabat penampakan Tuhan Syamsudin mengikuti doktrin Martabat Tujuh
yang disampaikan oleh Al-Burhanpuri. Ia tidak mengikuti konsep yang disajikan
oleh Hamzah Fansuri. Ini dapat dikatakan sebgai salah satu kontinuitas
sekaligus perubahan dari doktrin wujudiyah yang berkembang di Indonesia.
Melalui
merekalah, doktrin ini menyebar di berbagai Nusantara. Paham wujudiyah menyebar
ke belahan Nusantara. Johns menemukan kumpulan naskah tanpa pengarang di
perkirakan ditulis pada abad ke-17 M di wilayah Sumatera Utara. Naskah ini
menjelaskan antara lain tentang ajaran wahdat
al-wujud, manusia sempurna dan keutamaan dzikir. Johns menduga bahwa kitab
tersebut adalah murid dari Syamsuddin Al-Sumatrani, mengingat banyak hal serupa
yang disebutkan dalam naskah tersebut dalam karya – karya Syamsuddin
Al-Sumatrani.
Di
Palembang misalnya Syihabudin bin Abdullah, ulama sebelum Abdus Samad pada abad
ke 18 M, menceritakan bahwa di Palembang telah ramai dengan paham Martabat
Tujuh dan menyebabkan masyarakat menjadi zindik dan sesat. Oleh karena itu,
buku – buku yang membahas masalah paham wahdat
al-wujud ini dilarang dipelajari, sebab di Palembang masih belum banyak
guru – guru agama yang mumpuni. Pengaruh Syamsuddin juga di dapati di Buton
dengan adanya undang – undang kerajaan Buton yang mengadopsi Martabat Tujuh dan
adanya sifat Tuhan yang dua puluh, pada masa Sultan Dayan Ihsanudin
(1597-1631). Hal ini terlihat adanya perjanjian yang dibuat antara pihak
kerajaan dengan Belanda yang diwakili oleh Pieter Both pada 1613 M yang isinya
antara lain bahwa Kerajaan Buton bebas intuk melaksanakan sistem pemerintahanya
menurut adat setempat.
Sementara
itu di pulau Jawa, ajaran Martabat Tujuh baru berkembang pada akhir abad ke-17
M, dan dalam hal ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor Abdurrauf
Al-Sinkili yang banyak memiliki pengikut terutama dalam Tarekat Syattariyah
yang berkembang di Jawa. Dengan demikian, ini membuktikan pengaruh Syamsuddin
Al-Sumatrani bukan hanya di Aceh melainkan tersebar di belahan Nusantara
mengingat saat itu lalu lintas perdagangan dan transportasi yang cukup. (Miftah
Arifin,2013:61-64)
![]() |
Referensi Buku : Arifin, Miftah. 2013. Sufi Nusantara. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
|
0 komentar:
Posting Komentar