Sabtu, 24 Desember 2016

Biografi Tokoh Sufi di Nusantara : Syamsuddin Al-Sumatrani


A.    Riwayat Hidup
Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan tokoh yang cukup berpengaruh di kalangan istana Kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 M, dan menjadi qadhi kerajaan. Ia diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1603-1636 M). Sebenarnya informasi tentang Syamsuddin Al-Sumatrani tidak banyak didapati. Informasi lokal tentang Syamsuddin Al-Sumatrani diperoleh dari Hikayat Aceh, Adat Aceh dan Bustan al-Salathin, sementara sumber – sumber Barat adalah catatan perjalanan dari para pengembara Eropa yang datang di Aceh.
Dalam Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan pemimpin spiritual masyarakat. Dialah yang membaca Al-Fatihah, dan atau menerima laporan dari para penziarah yang kembali dari Makkah. Adat Aceh memberinya kehormatan waktu sembahyang besar dan upacara – upacara keagamaan. Lalu, dengan Syamsuddin Al-Sumatrani lah para pengembara tersebut berurusan antara tahun (1600-1630). Dalam catatan perjalanan orang Eropa ini disebutkan terdapat seorang imam yang disebut dengan nama uskup (bishop dan euque).
Informasi yang paling tua berasal dari Frederich de Houtman, seorang pelaut Belanda yang sampai ke Aceh pada 1599 M, menyebutkan bahwa di Aceh didapatinya seorang yang menjadi Syeikh Penasihat Agung Raja. John Davis, pelaut asal Inggris yang menumpang armada kapal Cornelis de Houtman dan Frederich de Houtman, membuat catatan harian tentang Aceh bahwasanya di Aceh terdapat Imam Besar yang sangat dihormati oleh raja dan rakyat, serta terdapat seorang yang dianggap memiliki ruh kenabian yang juga sangat dihormati oleh rakyat. Dengan mempertimbangkan informasi perjalanan dari Barat ini serta memadukan dengan informasi lokal maka sangat mungkin yang dimaksud oleh Frederich de Houtman dan John Davis ketika berhubungan dengan Aceh adalah Syamsuddin Al-Sumatrani. (Miftah Arifin, 2013:50-52)

B.     Keterkaitan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Al-Sumatrani.
Posisi Syamsuddin menjadi sangat penting sesudah Hamzah Fansuri. Meski tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan Syamsuddin Al-Sumatrani serta tidak didapati keterangan yang memadai tentang hubungan Syamsuddin Al-Sumatrani dengan Hamzah Fansuri, banyak para sarjana yang menyimpulkan bahwa ada kedekatan antara keduanya. A. Hasjmy misalnya, cenderung menyimpulkan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan murid dan khalifah dari Hamzah Fansuri yang paling besar di antara pengikut Hamzah Fansuri di Aceh. Pandangan ini menurut Aziz Dahlan memiliki kemungkinan kebenaran sebab Syamsuddin Al-Sumatrani ternyata memiliki tulisan sebagai syarah atas karya Hamzah Fansuri. Tulisan dari Syamsuddin Al-Sumatrani tersebut adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apabila antara Syamsuddin Al-Sumatrani dengan Hamzah Fansuri memiliki hubungan murid dan guru, di mana dan kapan Syamsuddin Al-Sumatrani berguru kepada Hamzah Fansuri. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab karena tidak ada informasi yang menjelaskan tentang hal itu. Tetapi jika melihat tradisi perjalanan intelektual dari Hamzah Fansuri yang suka mengembara ke berbagai tempat, sangat dimungkinkan keduanya bertemu. A. Winsted menjelaskan bahwa Syamsuddin Al-Sumatrani pernah menjadi murid dari Pangeran Bonang di Jawa dan A. Hasjmy bahkan memandang bahwa keduanya (Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani) pernah berguru ke Sunan Bonang di Jawa. Tentu saja spekulasi para sarjana tersebut terjawab dengan penemuan inkripsi batu nisan dari Hamzah Fansuri yang tertanggal 11 April 1527 M sehingga tidak mungkin Syamsuddin memiliki hubungan guru murid dengan Hamzah Fansuri sebab antara keduanya terpaut jarak yang cukup jauh sekitar 1 abad. (Miftah Arifin, 2013:49-50)

C.    Karya – Karya Syamsuddin Al-Sumatrani
Menurut Miftah Arifin (2013:53) sebagai seorang ulama Islam awal Nusantara, Syamsuddin merupakan sosok penulis yang cukup produktif terkait dengan persoalan keagamaan. Ia menulis berbagai risalah baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu yang keberadaan teks – teks karya tersebut masih dapat diakses sampai saat ini. A.Hasjmy menyebutkan terdapat 16 karangan Syamsuddin Al-Sumatrani, yaitu Mir’at al-Mukminin, Jauhar al-Haqa’iq, Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah, Kitab al-Harakah, Nur al-Daqa’iq, Mir’at al-Imam, Syarh Mir’at al-Haqiqat, Kitab al-Martabat, Risalat al-Wahab, Mir’at al-Muhaqqiqin, Tanbih Allah, Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Karya tulisnya yang dapat dijumpai sampai saat ini antara lain sebagai berikut :
1.      Jauhar al-Haqa’iq
Kitab ini berjumlah 30  halaman dan ditulis dengan bahasa Arab serta telah disunting oleh Van Niewenhujize seorang sarjana berbangsa Belanda. Kitab ini mengajarkan paham Martabat Tujuh dan merupakan kitab pengajaran terbaik dan paling lengkap tentang tasawufnya.
2.      Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah
Kitab ini juga telah disunting oleh Van Nieuwenhujize dan berjumlah 8 halaman berbahasa Arab. Kendati cukup ringkas, kitab ini memiliki arti penting dalam pemahaman keagamaanya, karena risalah ini menjelaskan perbedaan pandangan antara golongan mulhid (ateis) dan golongan muwahid.
3.      Mir’at al-Mukminin
Kitab ini berjumlah 70 halaman dan berbahasa Melayu dan menjelaskan keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab – kitab Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat dan kadar-Nya. Kitab ini membicarakan akidah yang sejalan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
4.      Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
Kitab ini berbahasa Melayu dan sebagai penjelas dari syair Hamzah Fansuri tentang kesatuan wujud Tuhan dan alam.
5.      Syarah Syair Ikan Tongkol
Kitab ini berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang Nur Muhammad dan cara mencapai fana.
6.      Nur al-Daqa’iq
Kitab ini berbahasa Arab dan telah diinkripsi oleh A.H. Johns yang menjelaskan tentang Martabat Tujuh.
7.      Ibariq al-Salikin
Kitab ini berbahasa Melayu dan mengundang penjelasan dari beberapa istilah seperti wujud, adam, haq, wajib, mukmin, dan sebagainya.
8.      Mir’at al-Iman
Kitab ini berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang Martabat Tujuh dan persoalan ruh.
9.      Kitab al-Hamakah
Kitab ini berbahasa Arab dan ada pula dalam versi bahasa Melayu, membicarakan tentang Martabat Tujuh.

D.    Paham Wahdat al-Wujud Syamsuddin Al-Sumatrani
            Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan seorang ulama penulis yang cukup kreatif dan telah menghasilkan beberapa tulisan. Dari beberapa karyanya tersebut dapat diketahui bahwasanya Syamsuddin Al-Sumatrani adalah pengikut dari aliran wujudiyah. Di antara karangan yang menunjukan hal itu adalah Jauhar al-Haqa’iq (permata kebenaran) dan Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin was al-Mulhidin fi Dzikrillah  dan Mir’at al-Mukminin.
            Kitab Jauhar al-Haqa’iq menguraikan masalah wahdat al-wujud yang dianutnya. Kitab ini terdiri dari mukadimah, lima pasal dan kahtimah. Kitab ini dilarang dalam bahasa Arab yang cukup baik dengan gaya bahasa sufi yang cukup menyentuh. Kitab ini diawali dengan peringatan Syamsuddin Al-Sumatrani kepada manusia untuk menauhidkan Allah Swt dengan sebenarnya. Mengenal dengan sempurna dengan jalan memadukan dengan tasbih saja maka ia adalah bodoh dan kafir dan barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan tanzih saja maka ia adalah arif kurang. Dan barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan keduanya maka ia adalah arif sempurna yang disempurnakan. Tuhan dalam pengertian Syamsuddin Al-Sumatrani adalah wujud yang tidak ada satupun yang seperti Dia, dan tidak ada suatu pun yang berdiri menyertai-Nya, namun Dia adalah yang menyebabkan adanya segala sesuatu tanpa menyebabkan perubahan pada zat dan sifat-Nya.
            Semua penganut dari doktrin wujudhiyah ini tampak berangkat dari titik pandangan yang sama, bahwa sesungguhnya wujud hakiki itu hanyalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan alam semesta yang beraneka ini hanyalah bayang – bayang dari wujud Tuhan yang satu. Demikian juga yang disampaikan oleh Syamsuddin Al-Sumatrani tentang ajaran Tuhan dan alam ini. Sementara perbedaan meskipun hanya secara teknis yang sering terlihat adalah terkait dengan urutan – urutan atau peringkat – peringkat terjadinya penampakan bayang – bayang Tuhan dari Yang Maha Gaib sehingga menjadi beraneka seperti yang terlihat.
            Terkait dengan tajalli al-Haqq, Syamsuddin Al-Sumatrani mengikuti konsep Martabat Tujuh yang dirumuskan oleh Fadillah Al-Burhanpuri, yang membagi penampakan wujud Tuhan ke dalam tujuh tingkatan. Diantaranya ialah :
1.      Ahadiyyat. Dalam hal ini, Syamsuddin al-Sumatrani membahas keesaan Allah Swt, tidak ada yang serupa dengan wujud Allah Swt, wujud-Nya menjangkau segala hakikat tanpa terjadi perubahan pada zat dan sifat-Nya. Syamsuddin al-Sumatrani mengatakan : “Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia karena semuanya itu hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah Swt membuat segala sesuatu itu berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada esensinya adalah fana (tidak ada), tapi berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud dengan zat-Nya sendiri. Dialah tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah penegak segala sesuatu.”
2.      Wahdah al-wujud. Syamsuddin al-Sumatrani menulis bahwasanya apabila Allah Swt hendak menjelaskan diri-Nya dengan ilmu mutlak maka lahirlah wujud-Nya Yang Mutlak dengan segala keadaan ketuhanan dan kelamaan tanpa ada perbedaan dan pemisahan antara bagian yang satu dan bagian yang lainnya sehingga dinamakan al-Wahdah al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Kesatuan Hakikat Muhammad).
3.      Wahidiyyah. Dalam pasal ketiga ini Syamsuddin al-Sumatrani membahas al-Wahdaniyyah. Ketika Tuhan hendak menjelaskan dirinya dengan ilmunya, lahirlah wujudnya yang mutlak dengan segala nama dan sifat ketuhanan yang berbeda – beda antara yang satu dengan yang lainnya.
4.      Alam arwah. Ruh dalam martabat ini bersifat sederhana (basith) dan bersifat sunyi dari materi dan bentuk (mujarrad).
5.       Alam mitsal. Alam mitsal dalam pengajaran Syamsuddin al-Sumatrani adalah kelanjutan dari ruh dalam alam arwah, tetapi sudah tersusun – susun dan terbagi – bagi meskipun masih secara halus (lathif) dan bersifat imateriel.
6.       Alam aj’am. Pada martabat ini tajalli Tuhan sudah tercipta dalam bentuk tubuh yang tebal, bisa dibagi dan dipecah, tersusun, sudah terkumpul di dalamnya segala nama dan sifat dari yang Mutlak.
7.      Alam insane. Martabat ketujuh adalah martabat insane yang merupakan titik sentral pembahasan Syamsuddin Al-Sumatrani mengenai alam. Pada martabat ini terhimpun segala martabat tajalli sebelumnya, yaitu wahdah, wahdaniyah, ruh nurani, dan tubuh yang gelap semua terhimpun menjadi satu menjadi manusia. (Miftah Arifin, 2013:54-60)

E.     Pengaruh Syamsuddin Al-Sumatrani di Nusantara
            Syamsuddin Al-Sumatrani sudah dianggap oleh para ahli sebgai seorang pengikut Hamzah Fansuri. Pada masanya paham wahdat al-wujud mendapat tempat yang layak dalam kerajaan Aceh sehingga banyak rakyat dan pembesar kerajaan yang menganut paham ini. Dalam tulisannya Syamsuddin terlihat jelas pengaruh mahzab Ibn Arabi serta diperkirakan masuk di Aceh sebelum tahun 1030/1619 M, sebab kitab Tuhfah al-Mursalah yang menjadi rujukan utama ajran ini selesai ditulis pada 1000/1590 M oleh Al-Burhanpuri. Dengan uraiannya tentang tajalli al-haqq secara singkat dan jelas, ia dengan segera menggantikan konsep tajalli dari ulama sebelumnya seperti Ibn Arabi atau Al-Jilli dan kemudian diadopsi oleh Syamsuddin Al-Sumatrani dalam menjelaskan Martabat Wujud.
Sebagai pengikut terbesar dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani menulis sebuah syarh atas kitab Ru’ai yang diidentifikasi milik Hamzah Fansuri. Namun dalam konsep martabat penampakan Tuhan Syamsudin mengikuti doktrin Martabat Tujuh yang disampaikan oleh Al-Burhanpuri. Ia tidak mengikuti konsep yang disajikan oleh Hamzah Fansuri. Ini dapat dikatakan sebgai salah satu kontinuitas sekaligus perubahan dari doktrin wujudiyah yang berkembang di Indonesia.
Melalui merekalah, doktrin ini menyebar di berbagai Nusantara. Paham wujudiyah menyebar ke belahan Nusantara. Johns menemukan kumpulan naskah tanpa pengarang di perkirakan ditulis pada abad ke-17 M di wilayah Sumatera Utara. Naskah ini menjelaskan antara lain tentang ajaran wahdat al-wujud, manusia sempurna dan keutamaan dzikir. Johns menduga bahwa kitab tersebut adalah murid dari Syamsuddin Al-Sumatrani, mengingat banyak hal serupa yang disebutkan dalam naskah tersebut dalam karya – karya Syamsuddin Al-Sumatrani.
Di Palembang misalnya Syihabudin bin Abdullah, ulama sebelum Abdus Samad pada abad ke 18 M, menceritakan bahwa di Palembang telah ramai dengan paham Martabat Tujuh dan menyebabkan masyarakat menjadi zindik dan sesat. Oleh karena itu, buku – buku yang membahas masalah paham wahdat al-wujud ini dilarang dipelajari, sebab di Palembang masih belum banyak guru – guru agama yang mumpuni. Pengaruh Syamsuddin juga di dapati di Buton dengan adanya undang – undang kerajaan Buton yang mengadopsi Martabat Tujuh dan adanya sifat Tuhan yang dua puluh, pada masa Sultan Dayan Ihsanudin (1597-1631). Hal ini terlihat adanya perjanjian yang dibuat antara pihak kerajaan dengan Belanda yang diwakili oleh Pieter Both pada 1613 M yang isinya antara lain bahwa Kerajaan Buton bebas intuk melaksanakan sistem pemerintahanya menurut adat setempat.
Sementara itu di pulau Jawa, ajaran Martabat Tujuh baru berkembang pada akhir abad ke-17 M, dan dalam hal ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor Abdurrauf Al-Sinkili yang banyak memiliki pengikut terutama dalam Tarekat Syattariyah yang berkembang di Jawa. Dengan demikian, ini membuktikan pengaruh Syamsuddin Al-Sumatrani bukan hanya di Aceh melainkan tersebar di belahan Nusantara mengingat saat itu lalu lintas perdagangan dan transportasi yang cukup. (Miftah Arifin,2013:61-64)

Referensi Buku : Arifin, Miftah. 2013. Sufi Nusantara. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar