Minggu, 25 Desember 2016

Mengenal al-Ahwal, muraqabah dan khauf.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 :.Mengenal Al-Ahwal
Sebagian sufi pernah menyebut beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, al-raja’ dan al-syawq. Berbeda dari al-maqamat yang diraih dari hasil usaha salik secara mandiri dengan melakukan ibadah, mujahadarh dan riyadhah, al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt, dan keadaanya tidak kekal dalam diri seorang salik. (Ja’far, 2016:85)

Sub 2 : Al- Muraqabah
            Kata al-muraqabah memang tidak digunakan Alquran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan antara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24 kali. Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab [33]:52, serta hadits Nabi Muhammad Saw mengenai al-iman, al-islam, dan al-ihsan, di mana makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yarka) merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt, dan hati meyakini bahwa Allah Swt Maha Pengawas mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya, dan mendengar ucapannya. Keadaan ini dirasakan ketika salik mengawasi diri sendiri terhdap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah Swt sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan dengan-Nya dan memelihara-Nya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya dan membenci dan tidak akan ingin melakukan pembuatan maksiat dan dosa. (Ja’far,2016:86)

Sub 3 : Takut (al-khauf)                                                                      
            Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat ditemukan dalam hadits dan atsar. Hakikat al-khauf dapat ditemukan dalam Q.S al-Fathir [35]:28, Q.S al-Bayyinah[98]:8, Q.S al-Ali Imran [3]:175, Q.S al-A’la [87]:10, Q.S al-Rahman [55]:46, dan Q.S al-Sajdah [32]:16. Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf maupun dalam bentuk al-khasyiya, meskipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah. Dalam bentuk al-khauf, disebut Alquran sebanyak 124 kali, terutama dalam bentuk khaufun, yukhafina, akhafun sedangkan dalam bentuk yakhsya, khasyiya dengan berbagai bentuknya disebut 48 kali. (Ja’far,2016:88)
            Dalam Q.S Ali Imran [3]:175, Allah Swt berfirman yang artinya ”Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut – nakuti (kamu) dengan kawan – kawannya (orang – orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar – benar orang beriman.”
            Adapun pendapat al-Qusyairi mengenai makna al-khauf yaitu takut kepada Allah Swt (siksaan-Nya) baik di dunia maupun akhirat. Abu al-Qasim al-Hakim mengatakan al-khauf memiliki dua bentuk yaitu rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt dan khasyyah yaitu orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran. Berdasarkan pendapat mereka, al-khauf berarti seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt (siksaan-Nya) dan tidak takut selain-Nya, sehingga hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Sub 4 : Harap (al-raja’)
            Hakikat harap (al-raja’) dapat ditemukan secara mudah dalam Alquran. Di antaranya dalam Q.S al-Baqarah [2]:218 dan Q.S al-Zumar [39]:53. Kata harap (al-raja’) tidak ditemukan dalam Alquran, meskipun bentuk lain dari akar yang sama dapat disebut sebanyak 28 kali, terutama dalam kata tarjuna, yarju dan yarjuna yang maknanya antara lain harap atau berharap. Menurut al-Qusyairi, raja’i adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang. Adb Allah bin Khuliq berkata bahwa raja’ terdiri atas tiga bentuk yaitu orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterim, orang yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertobat dan berharap mendapatkan ampunan, dan terakhir orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharapkan ampunan. Jadi, konsep al-raja’ bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt, berharap semua amal, tobat dan ampunanya diterima Allah Swt. (Ja’far,2016:89)

Sub 5 : Rindu (al-syawq)
            Kaum sufi menilai penting konsep rindu kepada Allah Swt, sebagai kekasih sejati manusia dan menjadi salah satu tanda kecintaan manusia kepada-Nya. Menurut al-Ghazali orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt, maka pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila seorang hamba mencintai Allah Swt maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihat-Nya. Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya – karya mereka. Al- Qusyairi misalnya mengatakan bahwa rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai (Allah Swt). (Ja’far,2016,89-90) Oleh karena itu cinta sangat bergantung kepada rindu. 

Kesimpulan :
            Al-ahwal muncul dalam diri seorang salik melalui pemberian Allah Swt, berbeda dengan al-maqamat yang didapatkan seorang salik melalui jalan usahanya secara mandiri. Hal ini pun akan berubah – ubah seiring dengan keadaan hati seorang salik. Namun bila tingkat keimanan seorang salik dalam posisi yang tinggi, maka ia senantiasa muraqabah yaitu merasa mawas diri terhadap segala perbuatan nya baik yang lalu maupun yang akan datang. Kemudian seorang salik merasa takut (khauf) kepada Allah Swt mengingat siksaan-Nya di dunia maupun akhirat kepada orang yang melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Maka dari itu, seorang salik selalu melakukan segala apa yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Allah Swt. Dengan begitu, ia berharap agar segala amal yang dilakukannya diterima Allah Swt (raja’). Selanjutnya seorang salik merasa rindu kepada Allah Swt (rindu beribadah kepada-Nya) sebagai wujud rasa cinta seorang hamba kepada-Nya.

BUKU II
Identitas Buku : Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Sub 1 : Mengenal Al-Ahwal
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf) dan harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin. (Solihin, 2008:83)

Sub 2 : Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan muraqabah)
            Menurut Solihin (2008:83-84) waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada (muhasabah) dapat diartikan bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang kehendaki-Nya. 

Sub 3 : Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
            Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ atau optimism adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Orang yang harapan dan penantiannya menjadikan berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan – angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan harapannya sia – sia dan percuma.  Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat.
            Ahmad Farid menegaskan bahwa khauf  merupakan cambuk yang digunakan Allah Swt untuk menggiring hamba – hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya itu, mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri ada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba yang berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan. (Solihin, 2008:84-85)

Kesimpulan :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa al-ahwal dapat muncul dalam diri seorang sufi atas pemberian Allah Swt. Diantaranya waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin.
Adapun muhasabah dan muraqabah saling berkaitan. Waspada (muhasabah) berarti Allah mengetahui segala sikap, tindakan, fikiran karena Allah Swt Maha Mengetahuai (al-alim), sehingga dengan begitu, manusia juga merasa muraqabah atau memiliki rasa takut dan berhati – hati serta meneliti dengan cermat atas perbuatan yang dilakukannya apakah sudah sesuai atau tidak. Kemudain al-khauf dan raja’ memiliki keselarasan. Apabila orang yang penuh harap terhadap sesuatu, maka ia akan merasa takut apabila melakukan kesalahan. Rasa takut terhadap siksaan Allah Swt dan mendorong seorang hamba senantiasa melakukan ibadah. 

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Dr.Ja’far, MA, dijelaskan secara terpisah makna – makna al-ahwal yang didapati seorang salik diantaranya al-muraqabah (mawas diri), al-khauf (takut), al-raja’ (harap) dan al-syawq (rindu).  Meskipun hanya terdapat empat point mengenai al-ahwal, dalam pembahasannya buku ini tidak lepas dari dalil – dalil yang dapat memperkuat inti pembahasan.
Pada buku II oleh Prof. Dr. Solihin M.Ag, dijelaskan secara bersamaan mengenai al-ahwal diantaranya seperti waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf) dan harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin. (Solihin, 2008:83)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar