IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub
1 :.Mengenal
Al-Ahwal
Sebagian
sufi pernah menyebut beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf,
al-raja’ dan al-syawq. Berbeda dari al-maqamat yang diraih dari hasil usaha
salik secara mandiri dengan melakukan ibadah, mujahadarh dan riyadhah, al-ahwal
tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt, dan keadaanya
tidak kekal dalam diri seorang salik. (Ja’far, 2016:85)
Sub
2 : Al- Muraqabah
Kata al-muraqabah memang tidak
digunakan Alquran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan antara lain
raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24
kali. Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab [33]:52, serta
hadits Nabi Muhammad Saw mengenai al-iman, al-islam, dan al-ihsan, di mana
makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yarka) merupakan isyarat dari
muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt, dan hati meyakini
bahwa Allah Swt Maha Pengawas mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya, dan
mendengar ucapannya. Keadaan ini dirasakan ketika salik mengawasi diri sendiri
terhdap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa
kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah
Swt sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan dengan-Nya dan
memelihara-Nya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan
al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh
Allah Swt dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal
kebaikan dalam hidupnya dan membenci dan tidak akan ingin melakukan pembuatan
maksiat dan dosa. (Ja’far,2016:86)
Sub 3 : Takut (al-khauf)
Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat
ditemukan dalam hadits dan atsar. Hakikat al-khauf
dapat ditemukan dalam Q.S al-Fathir [35]:28, Q.S al-Bayyinah[98]:8, Q.S al-Ali
Imran [3]:175, Q.S al-A’la [87]:10, Q.S al-Rahman [55]:46, dan Q.S al-Sajdah
[32]:16. Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf maupun dalam bentuk al-khasyiya,
meskipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah. Dalam bentuk
al-khauf, disebut Alquran sebanyak 124 kali, terutama dalam bentuk khaufun, yukhafina, akhafun sedangkan
dalam bentuk yakhsya, khasyiya dengan berbagai bentuknya
disebut 48 kali. (Ja’far,2016:88)
Dalam Q.S Ali Imran [3]:175, Allah
Swt berfirman yang artinya ”Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan
yang menakut – nakuti (kamu) dengan kawan – kawannya (orang – orang musyrik
Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku, jika kamu benar – benar orang beriman.”
Adapun pendapat al-Qusyairi mengenai
makna al-khauf yaitu takut kepada
Allah Swt (siksaan-Nya) baik di dunia maupun akhirat. Abu al-Qasim al-Hakim
mengatakan al-khauf memiliki dua
bentuk yaitu rahbah yakni orang yang
berlindung kepada Allah Swt dan khasyyah
yaitu orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran. Berdasarkan
pendapat mereka, al-khauf berarti
seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt (siksaan-Nya) dan tidak takut
selain-Nya, sehingga hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Sub
4 : Harap (al-raja’)
Hakikat harap (al-raja’) dapat ditemukan secara mudah dalam Alquran. Di antaranya
dalam Q.S al-Baqarah [2]:218 dan Q.S al-Zumar [39]:53. Kata harap (al-raja’) tidak ditemukan dalam Alquran,
meskipun bentuk lain dari akar yang sama dapat disebut sebanyak 28 kali,
terutama dalam kata tarjuna, yarju dan yarjuna yang maknanya antara lain harap atau berharap. Menurut
al-Qusyairi, raja’i adalah
ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang
akan datang. Adb Allah bin Khuliq berkata bahwa raja’ terdiri atas tiga bentuk
yaitu orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterim, orang
yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertobat dan berharap mendapatkan ampunan,
dan terakhir orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharapkan
ampunan. Jadi, konsep al-raja’
bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt, berharap semua amal, tobat dan
ampunanya diterima Allah Swt. (Ja’far,2016:89)
Sub 5 : Rindu (al-syawq)
Kaum sufi menilai penting konsep
rindu kepada Allah Swt, sebagai kekasih sejati manusia dan menjadi salah satu
tanda kecintaan manusia kepada-Nya. Menurut al-Ghazali orang yang memungkiri
hakikat cinta kepada Allah Swt, maka pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila
seorang hamba mencintai Allah Swt maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu
dan melihat-Nya. Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya – karya mereka. Al- Qusyairi misalnya
mengatakan bahwa rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai
(Allah Swt). (Ja’far,2016,89-90) Oleh karena itu cinta sangat bergantung kepada
rindu.
Kesimpulan :
Al-ahwal muncul dalam diri seorang
salik melalui pemberian Allah Swt, berbeda dengan al-maqamat yang didapatkan
seorang salik melalui jalan usahanya secara mandiri. Hal ini pun akan berubah –
ubah seiring dengan keadaan hati seorang salik. Namun bila tingkat keimanan
seorang salik dalam posisi yang tinggi, maka ia senantiasa muraqabah yaitu
merasa mawas diri terhadap segala perbuatan nya baik yang lalu maupun yang akan
datang. Kemudian seorang salik merasa takut (khauf) kepada Allah Swt mengingat siksaan-Nya di dunia maupun
akhirat kepada orang yang melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Maka dari itu,
seorang salik selalu melakukan segala apa yang diperintahkan dan yang dilarang
oleh Allah Swt. Dengan begitu, ia berharap agar segala amal yang dilakukannya
diterima Allah Swt (raja’).
Selanjutnya seorang salik merasa rindu kepada Allah Swt (rindu beribadah
kepada-Nya) sebagai wujud rasa cinta seorang hamba kepada-Nya.
BUKU II
Identitas Buku :
Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung
: CV. Pustaka Setia.
Sub 1 : Mengenal Al-Ahwal
Ahwal
yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah waspada dan
mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf) dan harap
(raja’), rindu (syauq), intim (uns),
tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin. (Solihin, 2008:83)
Sub 2 : Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan muraqabah)
Menurut Solihin (2008:83-84) waspada
dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu,
ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan
dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani yang berupa
kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada (muhasabah) dapat diartikan bahwa Allah mengetahui segala pikiran,
perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut
dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan
cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang
dari yang kehendaki-Nya.
Sub 3 : Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan
khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ atau optimism adalah
perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Orang yang harapan dan penantiannya menjadikan berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan – angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan
harapannya sia – sia dan percuma. Setiap
orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya,
tentu ia takut terlambat.
Ahmad Farid menegaskan bahwa khauf
merupakan cambuk yang digunakan Allah Swt untuk menggiring hamba –
hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya itu, mereka dapat dekat
kepada Allah. Khauf adalah kesakitan
hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri ada masa
yang akan datang. Khauf dapat
mencegah hamba yang berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada
dalam ketaatan. (Solihin, 2008:84-85)
Kesimpulan :
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa al-ahwal dapat muncul dalam diri seorang sufi atas
pemberian Allah Swt. Diantaranya waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah),
kehampiran atau kedekatan (qarb),
cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq),
intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yaqin.
Adapun
muhasabah dan muraqabah saling berkaitan. Waspada (muhasabah) berarti Allah
mengetahui segala sikap, tindakan, fikiran karena Allah Swt Maha Mengetahuai (al-alim), sehingga dengan begitu,
manusia juga merasa muraqabah atau memiliki rasa takut dan berhati – hati serta
meneliti dengan cermat atas perbuatan yang dilakukannya apakah sudah sesuai
atau tidak. Kemudain al-khauf dan raja’ memiliki keselarasan. Apabila orang
yang penuh harap terhadap sesuatu, maka ia akan merasa takut apabila melakukan
kesalahan. Rasa takut terhadap siksaan Allah Swt dan mendorong seorang hamba
senantiasa melakukan ibadah.
Perbandingan :
Pada buku I oleh Dr.Ja’far, MA,
dijelaskan secara terpisah makna – makna al-ahwal
yang didapati seorang salik
diantaranya al-muraqabah (mawas diri), al-khauf (takut), al-raja’ (harap) dan al-syawq
(rindu). Meskipun hanya terdapat
empat point mengenai al-ahwal, dalam
pembahasannya buku ini tidak lepas dari dalil – dalil yang dapat memperkuat
inti pembahasan.
Pada
buku II oleh Prof. Dr. Solihin M.Ag, dijelaskan secara bersamaan mengenai al-ahwal diantaranya seperti waspada dan
mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf) dan
harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah),
penyaksian (musyahadah) dan yaqin. (Solihin, 2008:83)
0 komentar:
Posting Komentar