IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Al Maqamat dan Al Ahwal.
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub 1 : Cinta (Mahabbah)
Cinta
(mahabbah) didasari dengan Alquran,
Hadits dan Atsar oleh kaum sufi. Diantara dalilnya adalah Q.S. al-Maidah
[5]:54, Q.S.as-Shaff [61]:4, dan Q.S. ali-Imran [3]:31. Alquran secara berulang
kali menyebutkan kata tentang cinta atau hub disebut sebanyak 99 kali dalam
berbagai bentuk kata, antara lain hub, yuhibbu sedangkan kata mahabbah tidak
disebutkan.
Sedangkan
makna al-mahabbah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid
al-Baghdadi misalnya berkata cinta adalah masuknya sifat – sifat kekasih pada
sifat – sifat yang mencintai. Muhammad bin Ali berkata bahwa cinta mengutamakan
yang dicintai. Menurut Ibn Qudamah, tanda cinta kepada Allah Swt adalah senantiasa
berdzikir kepada Allah; gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada
Allah; merasa rugi bila melewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya; menyayangi
semua hamba-Nya; mengasihi mereka dan bersikap tegas terhadap musuh –
musuh-Nya. Menurut al-Ghazali, yang mengutip pendapat Yahya bin Mu’az indicator
seorang hamba mencintai Allah Swt, adalah mengutamakan perkataan Allah daripada
perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan Allah daripada bertemu dengan
makhluk, dan mengutamakan ibadah kepada Allah Swt daripada melayani manusia.
(Ja’far, 2016:80)
Sub 2 : Rela (al-rida)
Kata
rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya senang puas,
memilih, persetujuan, memilih, menyenangkan dan menerima. Dalam kamus bahasa
Indonesia, rida adalah rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat. Kata rida
dari berbagai bentuk disebut dalam Alquran sebanyak 73 kali.
(Ja’far,2016:80-81) Karena banyaknya istilah rida secara berulang kali dalam
berbagai bentuk dalam Alquran, maka rida disimpulkan sebagai maqam yang
tertinggi.
Adapun
berbagai dalil Alquran yang mengandung istilah rida, sebagaimana menurut
al-Ghazali bahwa Islam menilai penting rida dapat dilihat dari Alquran, Hadits
dan Atsar. Allah berfirman dalam Q.S. al-Taubah [9]:100 yang artinya “Orang – orang yang terdahulu lagi yang
pertama – tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang –
orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka
pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surge – surge yang
mengalir sungai – sungai di dalamnya selama – lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenagan yang besar”.
Para
sufi yang berasal dari mahzab Sunni memberikan pendapat mengenai arti rida
diantaranya, Ibn Khatib mengatakan bahwa rida adalah tenangnya hati dan
ketetapan takdir Allah Swt dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan
Allah Swt. Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam yaitu rida Allah
terhadap hambanya dengan cara member rezeki, kenikmatan serta berkah dari Allah
Swt, dan rida hamba terhadap Allah Swt dengan cara melakukan segala apa yang
diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Dzun al-Nun al-Mishri
berkata bahwa tanda – tanda tawakal ada tiga yaitu meninggalkan usaha sebelum
keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan dan cinta apabila
mendapatkan cobaan. Abu Umar al-Dimsyaqi mengemukakan bahwa rida adalah
meninggalkan keluh kesah ketika hokum telah diberlakukan.
Kemudian,
menurut al-Thusi sebagai seorang tokoh tasawuf yang namanya cukup dikenal
mengemukakan bahwa rida adalah tidak merasa kecewa, baik secara lahiriyah
maupun bathiniyah dan baik hati, perkataan maupun perbuatan atas segala yang
terjadi dalam diri hamba dengan harapan Allah akan senang sehingga Allah akan
membebaskannya dari murka dan hukuman-Nya. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah rida
memiliki dua derajat yaitu rida kepada Allah Swt sebagai Rabb dan membenci
ibadah selain-Nya serta rida terhadap qada dan qadar Allah Swt. Menurut Ibn
Qudamah, makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt,
lebih baik dari pengaturan manusia dan rida atas penderitaan karena di balik
penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah sebagai
Kekasihnya. (Ja’far, 2016:84)
Sub 3 : Al-
Maqam lainnya.
Sebagian
sufi menilai bahwa setelah maqam rida terdapat maqam lainnya yang merupakan
maqam tertinggi seorang salik yaitu dengan ma’rifah.
Al-Kalabazi
mengatakan bahwa sebgian sufi membagi makrifat menjadi dua yaitu al-ma’rifat al-haqq yang berarti
penegasan keesaan Allah atas sifat – sifat yang dikemukakan-Nya, dan ma’rifat haqiqah yang berarti makrifat
yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat
ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami. Menurutnya makrifat bermakna
hati (al-sirr) menyaksikan kekuasaan Allah Swt dan merasakan besarnya
kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak bisa diungkap dengan ibarat
apapun. Al- Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat
adalah sifat dari orang – orang yang mengenal Allah Swt dengan nama dan
sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam
segala perbuatan. Menurut al-Thusi menjelaskan bahwa makrifah adalah derajat
tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt dan pengetahuan tentang-Nya memiliki
beberapa tingkatan. Tingkatan makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl al-hudhur yang menyaksikan-Nya
secara langsung dengan hati. (Ja’far, 2016:84-85) Sebagian sufi menganggap
makrifah lebih tinggi daripada rida. Sehingga kalangan sufi menghadirkan ajaran
lain mengenai al-maqam tertinggi yaitu
al-hulul yang dikenalkan oleh
Al-Hallaj, al-ittihad oleh Abu Yazid
al-Bistami dan wahdah al-wujud oleh
Ibn Arabi. Namun ketiga teori ini mengalami penolakan oleh fukaha dan teolog
Sunni, tetapi dapat diterima oleh mayoritas fukana Syiah.
Kesimpulan :
Seorang
sufi memiliki rasa kecintaanya hanya kepada Allah Swt sehingga ia lebih
mengutamakan Allah daripada manusia serta senantiasa melakukan kegiatan zikir
yaitu selalu menyebut nama Allah. Kemudian rida yang diartikan sebagai kerelaan
seorang hamba atas apa yang terjadi kepadanya. Merasa senang terhadap apa yang
dimilikinya. Istilah rida banyak disebutkan dalam Alquran sehingga rida
dimaknai sebagai maqam tertinggi. Adapun maqam lainnya yaitu makrifah yang
bermakna al-sir yaitu menyaksikan
keesaan dan kebesaran Allah. Al-Kalabazi berpendapat bahwa sebgian sufi membagi
makrifat menjadi dua yaitu al-ma’rifat
al-haqq dan ma’rifat haqiqah.
BUKU II
Identitas Buku :
Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 1 : Mahabbah
Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.
Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil
Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-mahabbah dapat pula
berarti al-wadud , yakni yang sangat
kasih atau penyayang. (Abuddin, 2016:179)
Kata
mahabbah dapat diartikan objeknya lebih kepada Tuhan. Dalam tasawuf, pengertian
mahabbah dapat dihubungkan dengan rasa kecintaan kepada Allah Swt secara
mendalam (bersifat ruhaniah). Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang
mencintainya-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam
bentuk pahala maupun nikmat melimpah. Menurut Harun Nasution mahabbah adalah
cinta yang dimaksudkan kepada Tuhan. Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah
menurut al-Sarraj ada tiga macam yaitu mahabbah orang biasa yaitu selalu
mengingat Allah dalam zikir, mahabbah orang shidiq yaitu cinta orang yang kenal
pada Tuhan pada kebesaran dan ilmu-Nya, dan mahabbah orang arif yaitu cinta
orang yang tahu betul pada Tuhan layaknya sifat – sifat yang dicintainya masuk
ke dalam jiwanya. Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukan suatu
proses mencintai Tuhan.
Harun
Nasution dalam bukunya Falsafah dan
Mistis dalam Islam mengatakan bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Dengan
mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri
manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan.
Pertama, al-qalb hati sanubari,
sebagai alat untuk mengetahui sifat – sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan.
(Abuddin, 2016:183)
Sub 2 : Kerelaan (rida)
Secara
harfiah ridha artinya rela, suka dan senang. Harun Nasution mengatakan ridla
tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. (Abuddin, 2016:176) Artinya
menerima qada dan qadar dengan perasaan senang hati, tidak memiliki rasa benci
dan bila mendapatkan musibah maka ia akan menerimanya sebagai nikmat baginya. Musibah
seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan harta, barang dan bahkan orang yang
disayang, kehilangan jabatan dan lain – lain harus dihadapi dengan kelapangan
dada (rida) oleh kalangan sufi dan dipandang sebagai sifat – sifat yang terpuji
dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap untuk mengharap ridha Allah.
Hal
ini dilakukan sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat
dan menghiasinya dengan akhlak mulia. Hal ini juga sangat identik dengan proses
takhalli yaitu membersihkan diri dari
sifat – sifat yang buruk dengan bertaubat dan menghiasi diri dengan perbuatan
baik yang disebut dengan tahalli.
(Abuddin, 2016:177)
Sub 3 : Maqam yang lainnya.
Beberapa
kalangan sufi menyatakan bahwa maqam terakhir tidak sampai kepada rida tetapi
berlanjut untuk lebih dekat kepada Allah yaitu makrifah. Makrifah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (qalb). Kesungguhan niat seorang sufi dalam bermakrifat akan
mendapatkan ridha dari Allah Swt sehingga sufi memperoleh pancaran cahaya
berupa ilham dari Tuhan.
Kesimpulan :
Mahabbah
atau cinta memiliki lawan kata dengan al-baghd
atau benci. Cinta yang dimaksudkan yaitu kepada Allah Swt secara mendalam
sehingga rasa cintanya dibalas dengan rasa sayang Allah berupa rezeki dan
nikmat yang melimpah. Harun Nasution juga mengatakan bahwa objek mahabbah yaitu
Tuhan dan sir sebagai alat untuk
mahabbah. Sedemikian rasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya, maka ia
senantiasa merasa rela, senang dan suka atas apa yang ia dapatkan. Bahkan ia
merelakan musibah yang datang kepadanya, artinya disini termasuk qada dan
qadar. Selain itu, ada maqam lain yang dapat dilalui oleh para sufi, bahwa
maqam terakhir tidak sampai kepada rida tetapi berlanjut untuk lebih dekat
kepada Allah yaitu makrifah.
Perbandingan :
Pada
buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan pengertian, pandangan sufi, dalil –
dalil, serta analisisnya. Pembahasan materi mahabbah, rida serta maqam lainnya
pada buku ini baik untuk digunakan sebagai referensi penulisan makalah, jurnal
dan lainnya. Karena didalam bukunya menghadirkan dalil – dalil.
Sedangkan
pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA menjelaskan secara baik terhadap
ketiga materi tersebut. Terlebih lagi pada pembahasan mahabbah, memiliki
pembahasan yang cukup detail dengan berbagai sudut pandang sufi. Akan tetapi
penjelasan mengenai dalil – dalil tidak cukup banyak dari buku I.
0 komentar:
Posting Komentar