Senin, 19 Desember 2016

Cinta, rida dan maqam lainnya.



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Al Maqamat dan Al Ahwal.
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 : Cinta (Mahabbah)
Cinta (mahabbah) didasari dengan Alquran, Hadits dan Atsar oleh kaum sufi. Diantara dalilnya adalah Q.S. al-Maidah [5]:54, Q.S.as-Shaff [61]:4, dan Q.S. ali-Imran [3]:31. Alquran secara berulang kali menyebutkan kata tentang cinta atau hub disebut sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk kata, antara lain hub, yuhibbu sedangkan kata mahabbah tidak disebutkan.
Sedangkan makna al-mahabbah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid al-Baghdadi misalnya berkata cinta adalah masuknya sifat – sifat kekasih pada sifat – sifat yang mencintai. Muhammad bin Ali berkata bahwa cinta mengutamakan yang dicintai. Menurut Ibn Qudamah, tanda cinta kepada Allah Swt adalah senantiasa berdzikir kepada Allah; gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada Allah; merasa rugi bila melewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya; menyayangi semua hamba-Nya; mengasihi mereka dan bersikap tegas terhadap musuh – musuh-Nya. Menurut al-Ghazali, yang mengutip pendapat Yahya bin Mu’az indicator seorang hamba mencintai Allah Swt, adalah mengutamakan perkataan Allah daripada perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan Allah daripada bertemu dengan makhluk, dan mengutamakan ibadah kepada Allah Swt daripada melayani manusia. (Ja’far, 2016:80)

Sub 2 : Rela (al-rida)
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya senang puas, memilih, persetujuan, memilih, menyenangkan dan menerima. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat. Kata rida dari berbagai bentuk disebut dalam Alquran sebanyak 73 kali. (Ja’far,2016:80-81) Karena banyaknya istilah rida secara berulang kali dalam berbagai bentuk dalam Alquran, maka rida disimpulkan sebagai maqam yang tertinggi.
Adapun berbagai dalil Alquran yang mengandung istilah rida, sebagaimana menurut al-Ghazali bahwa Islam menilai penting rida dapat dilihat dari Alquran, Hadits dan Atsar. Allah berfirman dalam Q.S. al-Taubah [9]:100 yang artinya “Orang – orang yang terdahulu lagi yang pertama – tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surge – surge yang mengalir sungai – sungai di dalamnya selama – lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenagan yang besar”.
Para sufi yang berasal dari mahzab Sunni memberikan pendapat mengenai arti rida diantaranya, Ibn Khatib mengatakan bahwa rida adalah tenangnya hati dan ketetapan takdir Allah Swt dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Swt. Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam yaitu rida Allah terhadap hambanya dengan cara member rezeki, kenikmatan serta berkah dari Allah Swt, dan rida hamba terhadap Allah Swt dengan cara melakukan segala apa yang diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Dzun al-Nun al-Mishri berkata bahwa tanda – tanda tawakal ada tiga yaitu meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan dan cinta apabila mendapatkan cobaan. Abu Umar al-Dimsyaqi mengemukakan bahwa rida adalah meninggalkan keluh kesah ketika hokum telah diberlakukan.
Kemudian, menurut al-Thusi sebagai seorang tokoh tasawuf yang namanya cukup dikenal mengemukakan bahwa rida adalah tidak merasa kecewa, baik secara lahiriyah maupun bathiniyah dan baik hati, perkataan maupun perbuatan atas segala yang terjadi dalam diri hamba dengan harapan Allah akan senang sehingga Allah akan membebaskannya dari murka dan hukuman-Nya. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah rida memiliki dua derajat yaitu rida kepada Allah Swt sebagai Rabb dan membenci ibadah selain-Nya serta rida terhadap qada dan qadar Allah Swt. Menurut Ibn Qudamah, makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt, lebih baik dari pengaturan manusia dan rida atas penderitaan karena di balik penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah sebagai Kekasihnya. (Ja’far, 2016:84)

Sub 3 : Al- Maqam lainnya.
Sebagian sufi menilai bahwa setelah maqam rida terdapat maqam lainnya yang merupakan maqam tertinggi seorang salik yaitu dengan ma’rifah.
Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebgian sufi membagi makrifat menjadi dua yaitu al-ma’rifat al-haqq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat – sifat yang dikemukakan-Nya, dan ma’rifat haqiqah yang berarti makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami. Menurutnya makrifat bermakna hati (al-sirr) menyaksikan kekuasaan Allah Swt dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak bisa diungkap dengan ibarat apapun. Al- Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah sifat dari orang – orang yang mengenal Allah Swt dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan. Menurut al-Thusi menjelaskan bahwa makrifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt dan pengetahuan tentang-Nya memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl al-hudhur yang menyaksikan-Nya secara langsung dengan hati. (Ja’far, 2016:84-85) Sebagian sufi menganggap makrifah lebih tinggi daripada rida. Sehingga kalangan sufi menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi yaitu al-hulul yang dikenalkan oleh Al-Hallaj, al-ittihad oleh Abu Yazid al-Bistami dan wahdah al-wujud oleh Ibn Arabi. Namun ketiga teori ini mengalami penolakan oleh fukaha dan teolog Sunni, tetapi dapat diterima oleh mayoritas fukana Syiah.
Kesimpulan :
Seorang sufi memiliki rasa kecintaanya hanya kepada Allah Swt sehingga ia lebih mengutamakan Allah daripada manusia serta senantiasa melakukan kegiatan zikir yaitu selalu menyebut nama Allah. Kemudian rida yang diartikan sebagai kerelaan seorang hamba atas apa yang terjadi kepadanya. Merasa senang terhadap apa yang dimilikinya. Istilah rida banyak disebutkan dalam Alquran sehingga rida dimaknai sebagai maqam tertinggi. Adapun maqam lainnya yaitu makrifah yang bermakna al-sir yaitu menyaksikan keesaan dan kebesaran Allah. Al-Kalabazi berpendapat bahwa sebgian sufi membagi makrifat menjadi dua yaitu al-ma’rifat al-haqq dan ma’rifat haqiqah.


BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 1 : Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-mahabbah dapat pula berarti al-wadud , yakni yang sangat kasih atau penyayang. (Abuddin, 2016:179)
Kata mahabbah dapat diartikan objeknya lebih kepada Tuhan. Dalam tasawuf, pengertian mahabbah dapat dihubungkan dengan rasa kecintaan kepada Allah Swt secara mendalam (bersifat ruhaniah). Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintainya-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah  Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala maupun nikmat melimpah. Menurut Harun Nasution mahabbah adalah cinta yang dimaksudkan kepada Tuhan. Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah menurut al-Sarraj ada tiga macam yaitu mahabbah orang biasa yaitu selalu mengingat Allah dalam zikir, mahabbah orang shidiq yaitu cinta orang yang kenal pada Tuhan pada kebesaran dan ilmu-Nya, dan mahabbah orang arif yaitu cinta orang yang tahu betul pada Tuhan layaknya sifat – sifat yang dicintainya masuk ke dalam jiwanya. Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukan suatu proses mencintai Tuhan.
Harun Nasution dalam bukunya Falsafah dan Mistis dalam Islam mengatakan bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat – sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan. (Abuddin, 2016:183)

Sub 2 : Kerelaan (rida)
Secara harfiah ridha artinya rela, suka dan senang. Harun Nasution mengatakan ridla tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. (Abuddin, 2016:176) Artinya menerima qada dan qadar dengan perasaan senang hati, tidak memiliki rasa benci dan bila mendapatkan musibah maka ia akan menerimanya sebagai nikmat baginya. Musibah seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan harta, barang dan bahkan orang yang disayang, kehilangan jabatan dan lain – lain harus dihadapi dengan kelapangan dada (rida) oleh kalangan sufi dan dipandang sebagai sifat – sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap untuk mengharap ridha Allah.
Hal ini dilakukan sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak mulia. Hal ini juga sangat identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat – sifat yang buruk dengan bertaubat dan menghiasi diri dengan perbuatan baik yang disebut dengan tahalli. (Abuddin, 2016:177)

Sub 3 : Maqam yang lainnya.
Beberapa kalangan sufi menyatakan bahwa maqam terakhir tidak sampai kepada rida tetapi berlanjut untuk lebih dekat kepada Allah yaitu makrifah. Makrifah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (qalb). Kesungguhan niat seorang sufi dalam bermakrifat akan mendapatkan ridha dari Allah Swt sehingga sufi memperoleh pancaran cahaya berupa ilham dari Tuhan.
Kesimpulan :
Mahabbah atau cinta memiliki lawan kata dengan al-baghd atau benci. Cinta yang dimaksudkan yaitu kepada Allah Swt secara mendalam sehingga rasa cintanya dibalas dengan rasa sayang Allah berupa rezeki dan nikmat yang melimpah. Harun Nasution juga mengatakan bahwa objek mahabbah yaitu Tuhan dan sir sebagai alat untuk mahabbah. Sedemikian rasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya, maka ia senantiasa merasa rela, senang dan suka atas apa yang ia dapatkan. Bahkan ia merelakan musibah yang datang kepadanya, artinya disini termasuk qada dan qadar. Selain itu, ada maqam lain yang dapat dilalui oleh para sufi, bahwa maqam terakhir tidak sampai kepada rida tetapi berlanjut untuk lebih dekat kepada Allah yaitu makrifah.

Perbandingan :
Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaskan pengertian, pandangan sufi, dalil – dalil, serta analisisnya. Pembahasan materi mahabbah, rida serta maqam lainnya pada buku ini baik untuk digunakan sebagai referensi penulisan makalah, jurnal dan lainnya. Karena didalam bukunya menghadirkan dalil – dalil.
Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA menjelaskan secara baik terhadap ketiga materi tersebut. Terlebih lagi pada pembahasan mahabbah, memiliki pembahasan yang cukup detail dengan berbagai sudut pandang sufi. Akan tetapi penjelasan mengenai dalil – dalil tidak cukup banyak dari buku I.
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar