Sabtu, 03 Desember 2016

Al-Maqamat dan Al-Ahwal : Tobat, Wara' dan Zuhud



IDENTITAS :
Nama                           : Euis Desy Khairiyati
Nim                             : 72153014
Prodi / Sem                 : Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Tema               :  Al-Maqamat dan Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku            :  Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan : Perdana Publishing.

Sub 1 :.Tobat (al-taubah)
            Tobat ialah menyesali perbuatan dosa serta berjanji tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi dengan memperbaiki diri (tingkah laku). Tobat merupakan maqam pertama yang harus dilalui oleh para salik (calon sufi). Maqam ini juga menjadi kesepakatan oleh para ahli sufi untuk menjadikan dasar dari tahapan – tahapan maqam. Kata tobat (al-taubah) sendiri disebut berulang kali dalam beragam bentuk kata, seperti taba, tabu, tubtu, tubtum, ayubu, tatuba, yabtu, yatubu, yatubu, yatubun, tub, tubu, al-taubi, taubah, taubatuhum, ta’ibat, al-ta’ibun, tawwab, tawwaba, al-tawwabin, matab dan mataba. Al-Quran menyebutkan bahwa diantara sifat Allah adalah tawwab yang disebut sebanyak 8 kali dan tawwaba disebut sebanyak 3 kali.
            Imam al-Ghazali mendasari maqam tobat dengan berbagai ayat Alquran, hadits-hadits dan atsar sebagaimana dapat dilihat dalam kitabnya, Ihya Ulum al-Din, sehingga akan dapat diketahui tentang kewajibannya dan keutamaanya tobat dalam Islam. Di antara dalil maqam tobat adalah Q.S al-Nur 24:31, Q.S al-Baqarah 2:222, Q.S al-Tahrim 66:8. (Ja’far, 2016:58) 
Dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad Saw, berkata sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla lebih gembira dengan tobat salah seorang di antara kalian daripada kegembiraan seseorang ketika menemukan kembali barangnya hilang.
Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga : “tobat kaum awam (al-amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunubi); tobat orang terpilih (al-khash) yakni tobat dari kelupaanya (al-ghaflah); dan tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain. Nashr al-Din al-Thusi, seorang sufi yang mengikuti aliran bidang filsafat dan sains mengemukakan bahwa maqam pertama yaitu tobat. Menurutnya tobat terdiri atas tiga hal yaitu tobat yang berhubungan dengan masa lalu, tobat yang berhubungan dengan masa kini, dan tobat yang berhubungan dengan masa depan. Dalam hubungan dengan masa lalu ada dua syarat tobat yakni, penyesalan terhadap dosa – dosa yang dilakukan di masa lalu, dan perbuatan yang menunjukan penyesalan tersebut baik yang berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Dalam hubungan masa kini, ada dua syarat tobat, menahan diri dari melakukan dosa sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan melindungi orang lain dari kezaliman. Dalam hubungan dengan masa depan, ada dua syarat tobat, yakni membuat suatu iktikad untuk tidak melakukan dosa di masa depan, dan bersabar dengan beriktikad tersebut sebab seseorang akan sangat mudah tergoda untuk melakukan dosa. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat yaitu penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan ketidakberdayaan. Hakikat tobat adalah menyesali semua dosa di masa lampau, membebaskan diri dari semua dosa, dan tidak mengulangi dosa di masa mendatang serta kembali kepada Allah Swt dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa, dan tidak akan mungkin akan dapat meninggalkan dosa bila tidak mengenal macam – macam dosa, sedangkan hukum mengetahui macam – macam dosa adalah wajib. Pertama, seorang hamba melakukan maksiat dan bertobat, serta istikhamah sampai akhir hidupnya. Kedua, seorang hamba bertobat, istikhamah menjalankan ibadah dan meninggalkan dosa – dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa – dosa yang dilakukan tanpa sengaja dan menyesali perbuatan dosa yang dilakukan tanpa sengaja tersebut. Ketiga, seorang hamba bertobat secara terus menerus sampai akhirnya nafsu syahwat mengalahkannya sehingga ia melakukan sebgaian dosa. Keempat, seorang hamba bertobat, tetapi akhirnya kembali melakukan dosa dania sama sekali tidak menyesali perbuatanya tersebut. (Ja’far, 2016 :60-62)

Sub 2 : Wara’
            Kata wara’ berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna berhati – hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia, warak bermakna “patuh dan taat kepada Allah”. Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati – hatian dan kewaspadaan tinggi. (Ja’far,2016:62)
            Dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw berkata wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’ , maka engkau akan menjadi hamba yang utama. Jadilah orang yang menerima apa adanya (qana’ah), maka engkau akan menjadi manusia yang paling bersyukur. Cintailah seseorang sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi mukmin yang sebenarnya. Perbaguslah hubungan tetangga bagi orang yang bertetangga kepadamu, maka engkau akan menjadi Muslim yang sebenarnya. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan diri.
            Al Qusyariri menjelaskan bahwa wara’ adalah meninggalkan segala hal yang subhat. Ibrahim bin Adam berkata, wara’ adalah meninggalkan hal – hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti yakni meninggalkan hal – hal yang tidak berfaedah. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat, Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman, menjaga hukum dalam segala hal yang mubah, melepaskan diri dari kebinaan dan menjaga diri agar tidak melampaui hokum dan menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan. (Ja’far, 2016:63)

Sub 3 : Zuhud
            Kata zuhud berasal dari bahasa Arab, yaitu zahada, yazhudu, zuhdan yang artinya menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti perihal meninggalkan keduniawian; peratapan. Dala Alquran, kata zuhud memang tidak digunakan melainkan kata al-zahidin sebanyak satu kali yang disebut dalam Q.S Yusuf (12):30. (Ja’far, 2016:64)
Dalam Q.S al-Hadid (57):20, Allah berfirman yang artinya :
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
            Dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw pernah berkata bahwa dunia itu adalah penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi orang kafir.
            Para sufi memberikan banyak penjelasan mengenai hakikat zuhud. Junaid mengatakan bahwa zuhud adalah tangan seseorang kosong dari kepemilikan dan kekosongan hati dari ambisi. Ibn Khaff berkata bahwa tanda – tanda zuhud adalah merasa senang meninggalkan harta benda, sedangkan makna zuhud adalah hati merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk kehidupan duniawi dan menghindarkan diri dari harta benda. Al-Qusyairi berpendapat bahwa zuhud adalah jiwa merasa tenang meninggalkan kehidupan dunia tanpa keterpaksaan. Abu Sulaiman al-Darani berkata, zuhud adalah meninggalkan berbagai aktivitas yang mengakibatkan jauh dari Allah Swt. Ibn Qayyim mengatakan bahwa zuhud bermakna meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat demi kepentingan akhirat, atau meninggalkan segala sesuatu selain Allah Swt secara total tanpa menoleh kepadanya tidak mengharapkannya. Zuhud dibagi menjadi tiga yakni zuhud terhadap hal – hal yang syubhat, zuhud terhadap hal – hal yang berlebihan, dan zuhud terhadap zuhud. Menurutnya, tidak layak disebut zahid kecuali menghindari harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan segala hal yang selain Allah Swt. Menurut al Ghazali, zuhud adalah sikap tidak menyukai dunia, karena ingin berpaling kepada akhirat. Zuhud dapat berarti berpaling dari selain Allah untuk menuju kepada-Nya. (Ja’far, 2016: 66-67)

Kesimpulan :
            Para sufi telah sepakat bahwa tobat (al-taubah) sebagai maqam pertama yang harus dilalui oleh para salik (calon sufi). Tobat didasari oleh penyesalan diri seorang hamba terhadap dosa maupun perbuatan maksiat yang telah dilakukannya serta berjanji agar tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang dengan memperbaiki diri dan tingkah laku dengan jalan ibadah kepada Allah Swt. Selain tobat, adapun maqam selanjutnya yang harus dilewati para salik yaitu wara’ yang merupakan sikap kehati – hatian seorang salik dalam melakukan sesuatu, sehingga mengenai hal – hal yang syubhat (tidak jelas), para salik akan menghindarkan diri darinya, terlebih lagi barang/ sesuatu yang sudah diketahui haram. Setelah berhati – hati, sikap para salik akan senantiasa menjauhkan diri dari segala hal yang bermegah – megahan (duniawi) dan menyerahkan diri sepenuhnya di jalan Allah Swt. 

BUKU II
Identitas Buku : Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 1 : Al-Taubah
            Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh – sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. (Abbudin, 2015:171) Untuk bertaubat kepada Allah Swt terkadang tidak cukup hanya sekali saja. Ada suatu kisah dimana para sufi bertaubat secara benar setelah bertahun – tahun lamanya. Sehingga taubat menurut para sufi ialah lupa pada segalanya kecuali Allah Swt, dan hanya mencintai Allah Swt.
            Selanjutnya dalam bukunya, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Mustafa Zahri menyebut taubat berbarengan dengan istighfar (memohon ampun). Bagi orang awam, taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa atubu illahi (Aku memohon ampun kepadaNya ) sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan. (Abbudin, 2015:171)
            Di dalam Alquran banyak dijumpai ayat – ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat. Diantaranya yaitu Q.S Ali Imran (3):135 yang artinya : “Dan (juga) orang – orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa – dosa mereka”.

Sub 2 : Al-Wara’
            Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal – hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu – raguan antara halal dan haram (syubhat). (Abbudin, 2015:172)
Adapun hadits yang menerangkan sikap menjauhi diri dari syubhat yaitu : “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram”. Hadits tersebut menunjukan bahwa syubhat lebih dekat dengan segala sesuatu yang haram, baik makanan, minuman ataupun pakaian. Sehingga hal yang ditakuti para sufi ialah hal – hal semacam ini, sebab dapat membuat keras hati dengan begitu sulit untuk mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Para sufi mengharapkan pancaran illahi ke hatinya yang bersih.

Sub 3 : Al-Zuhud.
            Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan meurut Harun Nasution, zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud di dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sedangkan ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram bagi suatu kewajiban. (Abuddin, 2015 :168)
            Zuhud merupakan suatu bentuk pengendalian diri yang berfokus kepada mengejar akhirat dan meninggalkan segala sesuatu yang menyangkut dunia. Hal ini dipahami dari isyarat ayat yang tersembunyi yaitu Q.S An-Nisa’ (4):77 yang artinya : “Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang – orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiyaya sedikitpun.
            Sikap zuhud ini dalam sejarah buat pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. Demikian pula halnya dengan khalifah – khalifah Bani Abbas. Al Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ia dibenci oleh ibunya sendiri, Zubaidah. (Abbudin, 2015:170)

Kesimpulan :
            Taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh – sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. (Abbudin, 2015: 171) Paham sufi juga mengatakan bahwa seorang hamba yang berhasil bertaubat sebenar – benarnya ialah yang mencintai Allah Swt daripada segalanya dan bagi para sufi bertaubat membutuhkan waktu tidak hanya sekali. Wara’ meupakan segala sesuatu yang menjauhi perbuatan dosa, diantaranya segala sesuatu yang tidak jelas baginya (sufi). Adapun zuhud merupakan meninggalkan segala sesuatu yang menyangkut dengan duniawi. Bagi para sufi yang telah diberikan rezeki/ nikmat dunia yang halal kemudian ia bersyukur itu lebih baik dan seorang sufi memanfaatkannya untuk kebaikan akhirat. Namun ada juga yang meninggalkan (zuhud) harta duniawi tersebut karena sesuatu itu haram.

Perbandingan :
            Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA menjelaksan tiap sub pembahasan secara detail terlihat dari banyaknya pandangan – pandangan para sufi mengenai taubat, wara’ dan zuhud sehingga pembaca dapat mengetahui perbedaan pandangan tersebut.
Sedangkan pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA menjelaskan secara singkat setiap sub pembahasan. Namun pada buku beliau dijelaskan sedikit asbabun nuzul (sejarah singkat) mengenai zuhud. Berbeda pada buku I, buku ini tidak meletakan begitu banyak perbedaan pendapat para sufi.
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar