IDENTITAS
:
Nama :
Euis Desy Khairiyati
Nim :
72153014
Prodi / Sem :
Sistem Informasi / Semester 3
Fakultas :
Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tema : Al-Maqamat dan Al-Ahwal
BUKU I
Identitas Buku :
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.
Medan : Perdana Publishing.
Sub
1 :.Tobat (al-taubah)
Tobat ialah menyesali perbuatan dosa
serta berjanji tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi dengan memperbaiki diri
(tingkah laku). Tobat merupakan maqam
pertama yang harus dilalui oleh para salik (calon sufi). Maqam ini juga menjadi kesepakatan oleh para ahli sufi untuk
menjadikan dasar dari tahapan – tahapan maqam.
Kata tobat (al-taubah) sendiri disebut
berulang kali dalam beragam bentuk kata, seperti taba, tabu, tubtu, tubtum, ayubu, tatuba, yabtu, yatubu, yatubu,
yatubun, tub, tubu, al-taubi, taubah, taubatuhum, ta’ibat, al-ta’ibun, tawwab,
tawwaba, al-tawwabin, matab dan mataba. Al-Quran menyebutkan bahwa diantara
sifat Allah adalah tawwab yang
disebut sebanyak 8 kali dan tawwaba
disebut sebanyak 3 kali.
Imam al-Ghazali mendasari maqam tobat dengan berbagai ayat
Alquran, hadits-hadits dan atsar sebagaimana dapat dilihat dalam kitabnya, Ihya
Ulum al-Din, sehingga akan dapat diketahui tentang kewajibannya dan keutamaanya
tobat dalam Islam. Di antara dalil maqam
tobat adalah Q.S al-Nur 24:31, Q.S al-Baqarah 2:222, Q.S al-Tahrim 66:8. (Ja’far,
2016:58)
Dari Abi Hurairah dari Nabi
Muhammad Saw, berkata sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla lebih gembira dengan
tobat salah seorang di antara kalian daripada kegembiraan seseorang ketika
menemukan kembali barangnya hilang.
Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa
tobat dibagi menjadi tiga : “tobat kaum awam (al-amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunubi); tobat orang terpilih (al-khash) yakni tobat dari kelupaanya (al-ghaflah); dan tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka
atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain. Nashr al-Din al-Thusi, seorang sufi yang mengikuti
aliran bidang filsafat dan sains mengemukakan bahwa maqam pertama yaitu tobat. Menurutnya tobat terdiri atas tiga hal
yaitu tobat yang berhubungan dengan masa lalu, tobat yang berhubungan dengan
masa kini, dan tobat yang berhubungan dengan masa depan. Dalam hubungan dengan
masa lalu ada dua syarat tobat yakni, penyesalan terhadap dosa – dosa yang
dilakukan di masa lalu, dan perbuatan yang menunjukan penyesalan tersebut baik
yang berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Dalam
hubungan masa kini, ada dua syarat tobat, menahan diri dari melakukan dosa
sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan melindungi orang lain
dari kezaliman. Dalam hubungan dengan masa depan, ada dua syarat tobat, yakni
membuat suatu iktikad untuk tidak melakukan dosa di masa depan, dan bersabar
dengan beriktikad tersebut sebab seseorang akan sangat mudah tergoda untuk
melakukan dosa. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat yaitu
penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan
ketidakberdayaan. Hakikat tobat adalah menyesali semua dosa di masa lampau,
membebaskan diri dari semua dosa, dan tidak mengulangi dosa di masa mendatang
serta kembali kepada Allah Swt dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan
dosa, dan tidak akan mungkin akan dapat meninggalkan dosa bila tidak mengenal
macam – macam dosa, sedangkan hukum mengetahui macam – macam dosa adalah wajib.
Pertama, seorang hamba melakukan maksiat dan bertobat, serta istikhamah sampai
akhir hidupnya. Kedua, seorang hamba bertobat, istikhamah menjalankan ibadah
dan meninggalkan dosa – dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa –
dosa yang dilakukan tanpa sengaja dan menyesali perbuatan dosa yang dilakukan
tanpa sengaja tersebut. Ketiga, seorang hamba bertobat secara terus menerus
sampai akhirnya nafsu syahwat mengalahkannya sehingga ia melakukan sebgaian
dosa. Keempat, seorang hamba bertobat, tetapi akhirnya kembali melakukan dosa
dania sama sekali tidak menyesali perbuatanya tersebut. (Ja’far, 2016 :60-62)
Sub 2 : Wara’
Kata wara’ berasal dari bahasa Arab,
wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna
berhati – hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia, warak bermakna “patuh dan
taat kepada Allah”. Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati –
hatian dan kewaspadaan tinggi. (Ja’far,2016:62)
Dari Abi Hurairah berkata bahwa
Rasulullah Saw berkata wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’ , maka engkau akan menjadi hamba
yang utama. Jadilah orang yang menerima apa adanya (qana’ah), maka engkau akan menjadi manusia yang paling bersyukur.
Cintailah seseorang sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, maka engkau
akan menjadi mukmin yang sebenarnya. Perbaguslah hubungan tetangga bagi orang
yang bertetangga kepadamu, maka engkau akan menjadi Muslim yang sebenarnya. Sedikitlah
tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan diri.
Al Qusyariri menjelaskan bahwa wara’ adalah meninggalkan segala hal
yang subhat. Ibrahim bin Adam berkata, wara’
adalah meninggalkan hal – hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti
yakni meninggalkan hal – hal yang tidak berfaedah. Menurut Ibn Qayyim
al-Jauziyah, warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan
syubhat, Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena
hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman, menjaga hukum
dalam segala hal yang mubah, melepaskan diri dari kebinaan dan menjaga diri
agar tidak melampaui hokum dan menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada
perpecahan. (Ja’far, 2016:63)
Sub 3 : Zuhud
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab,
yaitu zahada, yazhudu, zuhdan yang
artinya menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam
bahasa Indonesia, zuhud berarti perihal meninggalkan keduniawian; peratapan.
Dala Alquran, kata zuhud memang tidak digunakan melainkan kata al-zahidin sebanyak satu kali yang
disebut dalam Q.S Yusuf (12):30. (Ja’far, 2016:64)
Dalam
Q.S al-Hadid (57):20, Allah berfirman yang artinya :
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.
Dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa
Rasulullah Saw pernah berkata bahwa dunia itu adalah penjara bagi orang mukmin
dan syurga bagi orang kafir.
Para sufi memberikan banyak
penjelasan mengenai hakikat zuhud. Junaid mengatakan bahwa zuhud adalah tangan
seseorang kosong dari kepemilikan dan kekosongan hati dari ambisi. Ibn Khaff
berkata bahwa tanda – tanda zuhud adalah merasa senang meninggalkan harta
benda, sedangkan makna zuhud adalah hati merasa terhibur meninggalkan berbagai
bentuk kehidupan duniawi dan menghindarkan diri dari harta benda. Al-Qusyairi
berpendapat bahwa zuhud adalah jiwa merasa tenang meninggalkan kehidupan dunia
tanpa keterpaksaan. Abu Sulaiman al-Darani berkata, zuhud adalah meninggalkan
berbagai aktivitas yang mengakibatkan jauh dari Allah Swt. Ibn Qayyim mengatakan
bahwa zuhud bermakna meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat demi kepentingan
akhirat, atau meninggalkan segala sesuatu selain Allah Swt secara total tanpa
menoleh kepadanya tidak mengharapkannya. Zuhud dibagi menjadi tiga yakni zuhud
terhadap hal – hal yang syubhat, zuhud terhadap hal – hal yang berlebihan, dan
zuhud terhadap zuhud. Menurutnya, tidak layak disebut zahid kecuali menghindari harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu
dan segala hal yang selain Allah Swt. Menurut al Ghazali, zuhud adalah sikap
tidak menyukai dunia, karena ingin berpaling kepada akhirat. Zuhud dapat
berarti berpaling dari selain Allah untuk menuju kepada-Nya. (Ja’far, 2016:
66-67)
Kesimpulan :
Para sufi telah sepakat bahwa tobat (al-taubah) sebagai maqam pertama yang harus dilalui oleh para salik (calon sufi). Tobat
didasari oleh penyesalan diri seorang hamba terhadap dosa maupun perbuatan
maksiat yang telah dilakukannya serta berjanji agar tidak mengulanginya lagi di
masa yang akan datang dengan memperbaiki diri dan tingkah laku dengan jalan
ibadah kepada Allah Swt. Selain tobat, adapun maqam selanjutnya yang harus dilewati para salik yaitu wara’ yang merupakan sikap kehati –
hatian seorang salik dalam melakukan sesuatu, sehingga mengenai hal – hal yang
syubhat (tidak jelas), para salik akan menghindarkan diri darinya, terlebih
lagi barang/ sesuatu yang sudah diketahui haram. Setelah berhati – hati, sikap
para salik akan senantiasa menjauhkan diri dari segala hal yang bermegah –
megahan (duniawi) dan menyerahkan diri sepenuhnya di jalan Allah Swt.
BUKU II
Identitas Buku :
Nata, Abbudin. 2015. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Sub 1 : Al-Taubah
Al-Taubah
berasal dari bahasa Arab taba,
yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai
janji yang sungguh – sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut,
yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution, mengatakan
taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan
membawa kepada dosa lagi. (Abbudin, 2015:171) Untuk bertaubat kepada Allah Swt
terkadang tidak cukup hanya sekali saja. Ada suatu kisah dimana para sufi
bertaubat secara benar setelah bertahun – tahun lamanya. Sehingga taubat
menurut para sufi ialah lupa pada segalanya kecuali Allah Swt, dan hanya
mencintai Allah Swt.
Selanjutnya dalam bukunya, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Mustafa
Zahri menyebut taubat berbarengan dengan istighfar (memohon ampun). Bagi orang
awam, taubat cukup dengan membaca astaghfirullah
wa atubu illahi (Aku memohon ampun kepadaNya ) sebanyak 70 kali sehari
semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah
(latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang
membatasi diri dengan Tuhan. (Abbudin, 2015:171)
Di dalam Alquran banyak dijumpai
ayat – ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat. Diantaranya yaitu Q.S Ali
Imran (3):135 yang artinya : “Dan (juga) orang – orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu
memohon ampun terhadap dosa – dosa mereka”.
Sub 2 : Al-Wara’
Secara harfiah al-wara’ artinya
saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung
arti menjauhi hal – hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang
di dalamnya terdapat keragu – raguan antara halal dan haram (syubhat). (Abbudin, 2015:172)
Adapun
hadits yang menerangkan sikap menjauhi diri dari syubhat yaitu : “Barangsiapa
yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari
yang haram”. Hadits tersebut menunjukan bahwa syubhat lebih dekat dengan segala
sesuatu yang haram, baik makanan, minuman ataupun pakaian. Sehingga hal yang
ditakuti para sufi ialah hal – hal semacam ini, sebab dapat membuat keras hati
dengan begitu sulit untuk mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Para sufi
mengharapkan pancaran illahi ke hatinya yang bersih.
Sub 3 : Al-Zuhud.
Secara harfiah
al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Sedangkan meurut Harun Nasution, zuhud
artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya
al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan zuhud di dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu
yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa
harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya
sendiri. Sedangkan ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram bagi suatu kewajiban. (Abuddin,
2015 :168)
Zuhud merupakan suatu bentuk
pengendalian diri yang berfokus kepada mengejar akhirat dan meninggalkan segala
sesuatu yang menyangkut dunia. Hal ini dipahami dari isyarat ayat yang
tersembunyi yaitu Q.S An-Nisa’ (4):77 yang artinya : “Katakanlah kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang – orang yang
bertakwa dan kamu tidak akan dianiyaya sedikitpun.
Sikap zuhud ini dalam sejarah buat
pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana
dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyyah
misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan.
Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. Demikian pula halnya dengan
khalifah – khalifah Bani Abbas. Al Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal
dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ia
dibenci oleh ibunya sendiri, Zubaidah. (Abbudin, 2015:170)
Kesimpulan :
Taubat yang dimaksud oleh kalangan
sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang
sungguh – sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai
dengan melakukan amal kebajikan. (Abbudin, 2015: 171) Paham sufi juga
mengatakan bahwa seorang hamba yang berhasil bertaubat sebenar – benarnya ialah
yang mencintai Allah Swt daripada segalanya dan bagi para sufi bertaubat
membutuhkan waktu tidak hanya sekali. Wara’
meupakan segala sesuatu yang menjauhi perbuatan dosa, diantaranya segala
sesuatu yang tidak jelas baginya (sufi). Adapun zuhud merupakan meninggalkan
segala sesuatu yang menyangkut dengan duniawi. Bagi para sufi yang telah
diberikan rezeki/ nikmat dunia yang halal kemudian ia bersyukur itu lebih baik
dan seorang sufi memanfaatkannya untuk kebaikan akhirat. Namun ada juga yang
meninggalkan (zuhud) harta duniawi tersebut karena sesuatu itu haram.
Perbandingan :
Pada buku I oleh Bapak Dr.Ja’far, MA
menjelaksan tiap sub pembahasan secara detail terlihat dari banyaknya pandangan
– pandangan para sufi mengenai taubat, wara’ dan zuhud sehingga pembaca dapat
mengetahui perbedaan pandangan tersebut.
Sedangkan
pada buku II oleh Prof. Dr.H Nata Abuddin MA menjelaskan secara singkat setiap
sub pembahasan. Namun pada buku beliau dijelaskan sedikit asbabun nuzul
(sejarah singkat) mengenai zuhud. Berbeda pada buku I, buku ini tidak meletakan
begitu banyak perbedaan pendapat para sufi.
0 komentar:
Posting Komentar